Pages

PROFIL



PANORAMA PAROKI ST. FRANSISKUS ASSISI
SARIBUDOLOK

1. Situasi Geografis
Paroki Saribudolok terletak pada 2,60º – 3,05º LU dan 98,35º–98,75º BT, dengan ketinggian ± 1.300 – 1.400m di atas permukaan laut. Dan berada di 4 Kabupaten: Dairi, Deli Serdang, Karo dan Simalungun. Di Kabupten Dairi berbatasan dengan Kecamatan Silalahi, di Kabupten Deli Serdang berbatasan dengan Kecamatan Gunung Meriah, di Kabupaten Karo berbatasan dengan kecamatan. Merek, di Kabupaten Simalungun berbatasan dengan Kecamatan Purba / Kecamatan Dolok Pardamean. Di kabupaten Dairi ada 1 stasi, di kabupaten Deli Serdang 3 stasi, di kabupaten Karo 9 stasi dan di kabupaten Simalungun 33 stasi.

2. Keadaan Sosio – Kultural
Berhubung karena letaknya  yang strategis dan berada di empat Kabupten, maka umat paroki Saribudolok pun dengan sendirinya dihuni umat yang beraneka suku/ sub suku, adat dan bahasa. Di Paroki Saribudolok ada tiga sub suku dominan: Simalungun, Karo, Toba. Selain itu ada juga sebagian kecil suku Nias dan Flores yang merantau

Baik dari segi adat maupun bahasa, ketiga sub suku ini saling mempengaruhi satu sama lain. Pengaruh yang sangat positip adalah bahwa pada umumnya umat Katolik maupun masyarakat saling memahami dan saling mengakomodir kultur sub suku yang satu dengan kultur sub suku yang lain. Maka tidak heran kalau paroki ini akhirnya menjadi salah satu paroki yang sangat toleran dan dapat menerima perbedaan satu sama lain dengan sangat baik.

Di paroki Saribudolok, saat ibadat: pemakai bahasa Karo ada 6 stasi, pemakai bahasa Toba ada 10 stasi dan pemakai bahasa Simalungun 30 stasi.  Keragaman sub suku, bahasa dan adat istiadat menjadi kekayaan tersendiri di paroki ini. Selain sebagai kekayaan, harus diakui juga bahwa keanekaan budaya dan bahasa menjadi kesulitan tersendiri dalam pelayanan pastoral. Setiap pelayan pastoral terutama imam yang berkarya di paroki ini mesti sanggup berkomunikasi dalam ketiga bahasa tersebut. Kalaupun tidak begitu fasih mengungkapkannya, alias “berpasir-pasir”, ia mesti dapat memahami bahasa itu dengan baik.

3. Keadaan Umat
Seiring dengan perjalanan waktu, Paroki Saribudolok pun menunjukkan pertumbuhan jumlah umat yang amat signifikan. Terdata, per 31 Desember 2013 Paroki Saribudolok telah berjumlah 46 stasi dan 5 persiapan stasi (Mardingding 31 kk, Hoppoan (18 kk), Sinar Baru (20 kk), Gaja Pokki, 18 kk). Jadi praktisnya, Paroki Saribudolok ada 51 stasi. Dengan jumlah umat seluruhnya 30.553 jiwa.

Secara Rayon, Paroki Saribudolok terdiri dari 6 Rayon: Rayon Saribudolok ada 9 stasi (Saribudolok, Bandar Hinalang, Purba Hinalang, Banua, Purba Tua, Huta Tinggir, Jandimariah, Huta Saing dan Silaumerawan); Rayon Tongging: 6 stasi (Soping, Baluhut, Sibolangit, Tongging, Kodon-kodon dan Paropo); Rayon Garingging: 7 stasi (Tiga Raja, Situnggaling, Pansur Batu, Pertibi Lama, Pertibi Tembe, Garingging dan Nagara); Rayon Harang Gaol: 6 stasi (Purba Saribu, Harang Gaol, Halaotan, Salbe, Gaol dan Nagori Purba); Rayon Tiga Runggu: 9 stasi (Tiga Runggu, Naga Pane, Purba Tongah, Pematang Purba, Huta Raja, Saribujandi, Bulumaganjang dan Sipolin, Bagot Raja ); Rayon Saran Padang: 9 stasi (Panribuan, Panribuan Jahen, Perasmian, Saran Padang, Sindar Dolog, Gunung Panribuan, Gunung Meriah, Dolog Mariah, dan Marjandi Pematang). Dengan jumlah umat seluruhnya 30. 553 jiwa).

Selain hitungan sebagai umat pantas diketengahkan bahwa Paroki Saribudolok telah menjadi salah satu paroki penyumbang rohaniwan/ wati terbesar dari Keuskupan Agung Medan. Hingga saat ini seturut data yang dapat dihimpun ada 25 imam yang ditahbiskan, 12 orang calon imam di Seminari Tinggi dan 4 orang Bruder, yang tersebar di berbagai Ordo, Tarekat atau Unio yang ada di Indonesia. Selain itu Paroki Saribudolok juga telah memunculkan 134 suster. Jumlah seluruhnya  ada 173 orang; belum terhitung postulan yang ada dalam tarekat atau Ordo serta calon imam yang masih belajar di Seminari Menengah.
1.    KSSY         = 19 orang      
2.    CB               = 3 orang      
3.    FCh             = 2 orang      
4.    FSE            = 17 orang     
5.    KYM          = 20 orang      
6.    SFD            = 52 orang
7.    KSFL          = 6 orang
8.    FCJM          = 7 orang
9.    OSF             = 1 orang
10.  SND            = 1 orang
11.  OFM Cap.   = 25 orang
12.  OFM Conv. =  6 orang
13.  OFM            = 1 orang
14.  BM              = 1 orang
15.  Pr                 = 6 orang
16.  Philipina      = 6 orang

                   JUMLAH = 167 ORANG
                   Imam        = 25 orang

4.      Lembaga Hidup Bakti (LHB) 
     Perjalanan Paroki Saribudolok tidak hanya diprakarsai oleh para Imam tetapi juga oleh lembaga hidup bakti (LHB), yakni para Suster Fransiskan Dina (SFD). Sebelum tahun 1958 mereka telah
      hadir dan turut mewarnai perjalanan dan perkembangan paroki ini.

      Suster pertama yang hadir dan berkarya di paroki adalah Sr. Antonetta, SFD dan Sr. Bibiana, SFD. Pada awalnya, sebagai misionaris, mereka datang dari Dongen (Belanda) dan tinggal di Kabanjahe. Dari Kabanjahe, secara teratur dan setia mereka mengunjungi Saribudolok untuk kerasulan dalam karya kesehatan, pendampingan umat khususnya pemberdayaan kaum perempuan, urusan rumah tangga pastoran dan pendampingan Asrama. Karya istimewa rintisan mereka adalah sekolah keterampilan khusus perempuan (SKKP), yang kemudian beralih menjadi SMP Bunda Mulia – Saribudolok. SKKP telah dimulai pada tahun 1958 dan sejak itu pula mereka tinggal menetap dan berkarya di Paroki Saribudolok.

Keindahan danau Toba dan kesejukan Harang Gaol menjadi daya tarik tersendiri bagi para suster  untuk membuka karya dan komunitas di sana. Maka pada tahun 1988 mereka juga membuka karya di sana. Selain penyuluhan kesehatan dari kampung ke kampung, mengajar di sekolah (TK, SMP) juga turut mendapingi stasi untuk katekese.
Awalnya mereka tinggal dan berkarya di rumah kecil milik KAM. Akan tetapi karena perkembangan dan antusiasme umat menyambut kehadiran suster, akhirnya pada tahun 1989 mereka membangun rumah suster dan poliklinik dan diresmikan oleh Mgr. Pius Datubara pada tanggal 04 Maret 1990. Dengan terbangunnya susteran, dalam skala kecil, mereka juga melayani kelompok umat yang ingin rekoleksi atau retret di sana.



 MISI GEREJA KATOLIK DI PAROKI SARIBUDOLOK

1.     Tahap Awal: Pastor non Pribumi (tahun 1935 – 1970)

a)      AWAL KEHADIRAN MISI KATOLIK DI PAROKI SARIBUDOLOK: KEHADIRAN PASTOR ELPIDIUS VAN DUIJNHOVEN, OFM CAP.
Gereja Katolik Paroki Saribudolok dirintis oleh misionaris Kapusin propinsi Belanda, Elpidius van Duijnhoven, OFM Cap. Setelah pemerintah Belanda, secara resmi mengijinkan Misi Katolik masuk ke Tanah Batak (1935), Oleh Mgr. Matthias Brans, Pastor Elpidius  ditugaskan berorientasi dan bermisi di daerah  Simalungun sebelah Utara dan Timur  Danau Toba. Misi diawali oleh P. Elpidius dari Saba Dua, (± 7 km dari Pematangsiantar). Waktu itu, sebelum Perang Dunia II,  daerah Simalungun masih dikuasai  oleh raja-raja. Setiap raja mempunyai daerah tersendiri  dan rakyat setempat sangat taat  pada rajanya. Pada masa ini pun penduduk daerah Simalungun  secara umum masih menganut agama Parmalim; hanya sebagian kecil yang sudah beragama Protestan (HKBPS = Huria Kristen Batak Protestan Simalungun; sekarang menjadi GKPS = Gereja Kristen Protestan Simalungun).
Selama 3 tahun P. Elpidius mempelajari daerah Simalungun bagian Utara dan Timur Danau Toba. Sambil mengamati prospek missi ternyata dia juga sudah mulai mendirikan beberapa stasi, 40 – 60 km dari Saba Dua; antara lain: Stasi Saribudolok, Purba Hinalang, Haranggaol, Pematang Purba, Tiga Runggu dan Sipolin, Nagori Purba dan Halaotan. Dan sungguh menakjubkan bahwa dalam waktu yang masih sangat singkat permulaan misinya yakni pada tahun 1935, tepatnya tanggal 24 Nopember P. Elpidius telah mengadakan pembaptisan pertama di Harang Gaol, yakni Maknir Paulus Sihaloho.
Prospek missi ke Simalungun bagian Utara dan Timu Danau Toba semakin menggembirakan dengan keterbukaan orang-orang setempat kepada Injil dan kesediaannya menjadi Katolik. Maka pada tanggal 23 Januari 1938, P. Elpidius telah mengadakan pembaptisan keduakali di Bandar Saribu – Haranggaol, yakni Abel Sinaga, Dariam Purba, Helena br. Saragih dan Lucia br. Simarmata. Satu minggu kemudian, tanggal 30 Januari 1938, barulah dia mengadakan pembaptisan pertama di Purba Hinalang, yakni Petrus Fidelis Batubara dan Sinta Rustina br. Batubara.
Di satu pihak, walau Elpidius masih sangat terbatas dalam penguasaan bahasa dan peta daerah, akan tetapi di lain pihak, melihat kesempatan sudah terbuka untuk misi Katolik, ia merekrut Bapak Kenan Mase Hutabarat untuk menjadi “guru” bahasa, Katekis dan sekaligus sebagai rekannya dalam bermisi. Selain Kenan, ia juga merekrut Laur Viator Hutabarat. Pada masa-masa awal itu, secara bergantian mereka berdua menjadi pendamping setia bagi Elpidius dalam perjalanan mengunjungi kampung-kampung sampai ke pedalaman.

b)     DARI SARIBUDOLOK KE ACEH TENGGARA
Sebenarnya, pada masa awal misi, daerah Simalungun Atas tidak hanya dilayani oleh P. Elpidius, tetapi juga oleh P. Nepomucenus Hamers, OFM Cap, yang datang dari Sidikalang. Dalam waktu 3 tahun permulaan misi, tanpa meninggalkan daerah Simalungun, P. Elpidius bersama dengan P. Hamers sudah bermisi sampai ke daerah Aceh Tenggara (± 170 km dari Saribudolok). Dalam kurun tiga tahun itu mereka telah mendirikan stasi di Ranto Dior (Kuta Cane), Lau Bekung dan Lau Balang. Sebab pada tanggal 28 September 1938 P. Hamers telah mengadakan pembaptisan pertama di Ranto Dior; dan besoknya juga mengadakan pembatisan di Lau Bekung. Empat bulan kemudian berulah dia mengadakan pembaptisan pertama di Lau Balang.
Daerah Ranto Dior – Aceh Tengara tampaknya merupakan stasi yang paling cepat terbuka kepada Injil dan missi Katolik sebab setengah tahun setelah pembaptisan yang pertama, P. Elpidius juga telah mengadakan pembaptisan yang kedua di tempat yang sama, yakni pada tanggal 02 April 1939. Selain stasi Ranto Dior, Lau Bekung dan Lau Balang, setahun kemudian di daerah Aceh Tenggara dia juga mendirikan stasi dan mengadakan pembaptisan di Panosan, 08 Oktober 1939, di Lau Ponggas, 05 Agustus 1940, di Kuta Tengah 06 Agustus 1940 dan di Balbal Patarun, 07 Agustus 1940.
Masih dalam masa awal penjajakan missi di wilayah Paroki Saribudolok, bersama Pastor Nepomucenus Hamers, OFM Cap; mereka betul menjadi duet misionaris yang handal, bukan hanya di daerah Simalungun akan tetapi sampai ke Tanah Karo dan Aceh Tenggara. Pastor Hamers sendiri telah mengadakan pembaptisan pertama di Saribudolok pada tanggal 12 Maret 1939. Mereka yang dibaptis pada waktu itu adalah Cornelius Damanik dan Laurentius Sipayung. Namun ingatan dan cerita tentang Pastor Hamers pelan-pelan redup di ranah Simalungun karena pada akhir tahun 1939 ia lebih memusatkan perhatian di Sidikalang dan tinggal menetap di sana. P. Elpidius pun tinggal “sendirian”.
Walau sendiri, namun naluri misi Elpidius tetap menggelora. Dia segera mengatasi kesendirian itu dengan mendidik dan merekrut tenaga awam (Katekis) pribumi untuk mendukung karya misinya. Di Lau Bekung dia telah menemukan seseorang yang dapat diandalkan sebagai partner (Katekis) untuk mendukung karya missinya, yakni Bapak Petrus Datubara, ayah dari Uskup Emeritus Keuskupan Agung Medan, Pius Datubara.
Petrus Datubara pun bukan sekedar Katekis jago kampung, melainkan Katekis kawakan yang dapat diandalkan di kampung dan daerah lain. Oleh kepiawaiannya dalam mewartakan Injil dan iman kekatolikan dan terutama cerahnya prospek misi di daerah Simalungun, Elpidius pun merekrut Petrus Datubara ke daerah Simalungun. Tanpa mengabaikan “ketekis-katekis lain”, Petrus Datubara menjadi Katekis andalan pada masa itu.
Maka bersama dengan Petrus Datubara, dengan teratur Elpidius  mengunjungi stasi-stasi dan orang Katolik pun terus bertambah. Melihat perkembangan itu maka dipikirkan untuk membuka pusat pelayanan di daerah Saribudolok. Saribudolok sengaja dipilih karena  desa itu merupakan pusat perdagangan  dan letaknya sentral antara Pematangsiantar dan Aceh Tenggara; kebetulan juga di Saribudolok sudah ada stasi kecil. Stasi inilah yang menjadi pusat kegiatan  gerejani bagi Elpidius pada awalnya.
Waktu itu di Saribudolok  ada sebuah rumah besar yang mau dijual, milik seorang “Bunggali”; Pastor Elpidius berkeinginan membelinya. Namun Raja Silimakuta (daerah Saribudolok) juga mempunyai keinginan yang sama, namun dia hanya menyanggupi seharga  500 gulden; “si Bunggali” tidak mau. Akhirnya P. Elpidius membeli rumah itu seharga 2000 gulden. Mendengar bahwa rumah “si Bunggali” itu telah dijual kepada misi Katolik, Raja Silimakuta pun menjadi sangat marah. Dia mencoba agar  penjualan rumah itu dibatalkan, tetapi dia tidak berhasil. Akhirnya dia mengadakan perlawanan  kepada Misi Katolik. Dia memanggil setiap orang yang menjadi  Katolik  dan mempengaruhi mereka  agar tidak lagi menjadi Katolik.
Berbeda dengan Raja Silimakuta, Raja Purba justru sangat simpatik terhadap misi Katolik dan menerimanya dengan tangan yang sangat terbuka.  Bahkan setiap tahun, sekitar Tahun Baru, Pastor Elpidius rutin mengunjungi beliau di Pematang Purba.
Karena hubungan dengan Raja Silimakuta belum harmonis, dan ia masih tetap menghalangi misi Katolik dipicu oleh persoalan rumah “si Bunggali itu, akhirnya Pastor Elpidius menjual rumah itu dan memindahkan pusat pelayanannya ke Purba Hinalang (± 4 km dari Saribudolok) di mana sudah ada stasi dengan jumlah umat ± 50 kk. Di situ ia juga membangun sekolah (vervolgschool)  dengan asrama. Dari Purba Hinalang, selain mengunjungi daerah-daerah di mana sudah ada missi Katolik Elpidius juga terus bergerak mengunjungi daerah-daerah yang sudah terbuka untuk misi, seperti Tanah Karo dan Aceh Tenggara lainnya.

c)      DARI SARIBUDOLOK KE TANAH KARO
Di Tanah Karo ia mengunjungi dan mendirikan stasi di beberapa daerah seperti Berastagi, Suka Julu, Berastepu dan Kabanjahe. Di Berastagi, ia telah mengadakan pembaptisan pertama pada tanggal 28 Agustus 1940, yakni Petrus Saragih; di Suka Julu, tanggal 29 Desember 1940, yakni Julianus Nungsang Tarigan. Kira-kira setahun kemudian dia pun telah memasuki dan mengadakan pembaptisan di Berastepu, tepatnya pada tanggal 28 Nopember 1941. Orang yang pertama sekali dibaptis di sana adalah Esteria br. Meliala. Dan pada tanggal 20 Januari 1943, di Kabanjahe, yakni Ndela br. Sembiring.

d)     MASA PENDUDUKAN JEPANG
Penjajahan Jepang (1942 – 1945) membuat para misionaris, termasuk Elpidius, terkendala beberapa tahun dalam pewartaan Injil. Pada tahun 1942, saat beliau sedang di Haranggaol, di kejauhan terdengar tembak – menembak gencar antara tentara Jepang dengan Belanda. Keinginan untuk mengetahui situasi mengundang pastor Elpidius mengajak seorang guru dari Harang Gaol berangkat ke Tiga Runggu untuk melihat keadaan. Sepeda motor sengaja di tinggalkan di Harang Gaol untuk menghindari penyitaan. Dengan mengenakan jubah, mereka pergi; baru sedikit melewati Simpang Harang Gaol ke arah Tiga Runggu, mereka berpapasan dengan tiga truk dan satu mobil, penuh tentera Jepang. Hati was – was menunggu reaksi tentara Jepang, tetapi perasaan menjadi lega ketika komandan tentara Jepang ternyata memberi salam kepada pastor itu. “Saya makin berani, dan mengajak pak guru meneruskan perjalanan” katanya. Tetapi di Simpang Gaja Pokki, sang guru tidak tahan lagi (mungkin juga takut) dan Pastor Duijnhoven melanjutkan perjalanan sendirian, berjalan kaki.
Menjelang kampung Purba, satu konvoi lagi lewat. Kontan tentara Jepang dari satu truk mengangkat senjata siap menembak. “Saya angkat tangan tinggi – tinggi supaya jangan ditembak. Ternyata mereka menurunkan kembali senjatanya” cerita beliau mengenang saat – saat genting itu
Tetapi sebentar kemudian, satu truk lewat lagi. Truk ini berhenti, dan tentara Jepang menggeledah tas dan pakaian pastor Elpidius. Semua diserakkan di jalan, termasuk minyak suci, alat – alat misa dan sedikit uang. “Satu – satunya yang tidak ikut tumpah ialah hosti, karena saya taruh di sini” katanya seraya menunjuk lipatan jubah di dadanya. Toh pastor lalu disuruh naik truk dan diangkut ke Kabanjahe.
Di Titi Lau Dah, menjelang kota Kabanjahe, truk – truk harus antri karena titi rusak. Mungkin dikhawatirkan P. Elpidius akan melarikan diri sementara tentara Jepang makan, maka dia diikat ke sebuah tiang kawat dan menjadi tontonan orang – orang yang lewat. Pada tiang ikatan dia tetap berdoa mohon perlindungan dari Tuhan.
Beberapa lama kemudian komandan di Kabanjahe yang rupanya sudah mendengar laporan adanya seorang pastor yang ditangkap, menyuruh supaya pastor dibawa ke markas Jepang di Kabanjahe. Sambil berdoa dia menghadapi komandan tentara Jepang. Usai menghadap, ternyata pastor Elpidius diijinkan pulang.
Dengan beberapa orang Katolik dari Saribudolok yang dijumpainya di Kabanjahe, Elpidius kembali ke Saribudolok; jalan kaki lewat ladang dan bukit untuk menghindari kesulitan dengan tentara Jepang. Mereka sempat bermalam di Suka Julu kala itu.
Nasib P. Duijnhoven sedikit lebih baik dari pastor – pastor lain di Pematangsiantar. Waktu itu semua pastor di Pematangsiantar sudah dikenakan tahanan rumah, sedang P. Duijnhoven masih bebas di Saribudolok melaksanakan tugas seperti biasa. Beberapa kali ia pergi naik bus mengunjungi para pastor  yang sedang tahanan rumah di Pematangsiantar. Ketiga kalinya ia ke Siantar, para pastor dan suster misionaris bukan lagi dalam tahanan rumah, tetapi semua sudah dipenjarakan. Ia pun kembali ke Saribudolok. Beberapa hari kemudian, dia pun mendapat surat perintah untuk menyerahkan diri kepada Jepang di Pematangsiantar. Maka bersama Pastor Djikstra dari Jalan Sibolga ia pergi ke penjara untuk ditahan. Dari penjara ini, sebagai tahanan, mereka sempat beberapa waktu bekerja meratakan lapangan terbang di Tiga Bolon. Penahanan berlangsung sampai sekitar 3 tahun. Semasa tahanan para pastor pun sempat juga dipindah ke Jalan Binjai dan terakhir di Labuhan Batu.
Pada tahun 1945 Jepang dikalahkan Sekutu. Tentera sekutu memerintahkan Jepang membawa semua pastor dan suster ke Medan. Saat itu Indonesia sudah Memproklamirkan kemerdekaannya.
Di Medan para misionaris tinggal di komplek Hayam Wuruk. Namun pelayanan pastoral ke daerah dianggap belum aman sehingga mereka tetap tinggal di sana sampai tahun 1947.
Tahun 1947 Pastor Duijnhoven ditugaskan Uskup ke Pamatangsiantar. Di sana ia menjumpai seorang pastor dari Jawa di pastoran, sedangkan rumah suster sudah di huni oleh 8 keluarga pegawai pemerintah Indonesia. Pastor dari Jawa tersebut rupanya menganggap perlu berhati – hati sekali untuk menjaga hubungan dengan setiap orang Belanda, termasuk sesama pastor. Maka ia menyarankan Pastor Duijnhoven tinggal di Hotel Siantar. Jadilah demikian untuk beberapa minggu. Sesudah itu P. Duijnhoven berinisiatif meminta satu tempat di rumah suster yang dihuni para pegawai. “Entah karena takutnya, mereka semua pergi, termasuk pastor orang Jawa itu. Saya lalu tinggal sendirian. Saya pindah ke pastoran, dan mulai lagi mengurusi stasi – stasi” katanya.

e)      P. ELPIDIUS PINDAH KE KABANJAHE
Pada tahun 1948-1949 P. Duijnhoven ditugaskan Uskup membawa Kabar Gembira ke daerah Karo bersama dengan P. Maximus Brans, OFM Cap. Di Kabanjahe saat itu sudah ada gereja Katolik, yang didirikan oleh tentara Belanda yang Katolik.
Ketika penyerahan kedaulatan Republik Indonesia tahun 1949 dan semua tentara Belanda pulang ke negerinya, P. Duijnhoven ikut dengan rombongan tentara, cuti ke negeri Belanda. “Ini cuti saya yang pertama kali, sesudah 15 tahun! Sampai – sampai saudara saya yang dulu saya tinggalkan masih gadis dan waktu saya pulang mereka sudah berumah tangga, tidak saya kenali lagi” kata Elpidius. Selama Elpidius cuti, sambil membantu ke daerah Tanah Karo, Penggembalaan di daerah Saribudolok diteruskan oleh P. Lukas Renders, OFM Cap (Maret 1949 – Oktober 1949).

f)       KEMBALI KE SARIBUDOLOK
Sekembali dari cuti kira – kira pertengahan 1950, P. Elpidius kembali ke Indonesia dan bertugas lagi di Saribudolok. Ia mulai lagi babak baru dalam pewartaan Injil. Karena sudah ada tenaga misionaris di Tanah Karo (P. Maximus Brans, OFM Cap.) ia lebih memfokuskan pewartaannya di daerah Saribudolok hingga ke arah Pematangsiantar. Dalam babak baru missinya ia lanjutkan berkunjung dari kampung ke kampung, mewartakan Injil dan mendirikan stasi serta membaptis orang menjadi Katolik.
Melihat prospek misi yang semakin terbuka dan cerah di daerah Simalungun dan sekitarnya, pada tahun 1951, ia memohonkan katekis kepada Bapak Uskup, waktu itu Mgr. Ferrerius van Den Hurk sebagai uskup Medan. Sedemikian urgen permohonan itu, hingga Mgr. van Den Hurk mencopot “katekis tentara” dari Medan dan mengutusnya ke Saribudolok untuk membantu P. Elpidius di tahun yang sama pula. Dialah Bapak Bonaventura Yaep Lin Hin atau yang lebih dikenal dengan Bapak Bonaventura Purba. Bersama Bapak Bonaventura Purba, P. Elpidius mengujungi stasi-stasi, bermalam di kampung-kampung, berkatekese, mendirikan stasi dan membaptis orang-orang menjadi Katolik.
Kehadiran Bonaventura Purba, menjadi berkah istimewa dalam perjalanan misi Katolik di Paroki Saribudolok; selain masih lajang, energik, berdedikasi tinggi, piawai berkatekese, ia pun pintar bermasyarakat. Oleh karena itulah, walau dengan penguasaan bahasa daerah yang terbatas, ia dapat diterima dengan baik oleh umat dan masyarakat. Begitu cintanya umat dan masyarakat kepadanya, ia pun dinobatkan menjadi marga Purba.
Tidak mau ditinggalkan dan kehilangan Bonventura Yaep Lin Hin Purba, maka Oppung Dolog pun dengan berbagai upaya “mengikat”nya untuk tetap tinggal di Paroki Saribudolok, ia membujuk rayunya untuk menikah dengan “putri Stasi Purba Hinalang”. Harapan Oppung Dolog terkabulkan, pada tahun 15 Agustus 1957, dalam usia 41 tahun ia pun menikah dengan  Sannaria br. Lingga, putri stasi Purba Hinalang. Dengan demikian jadilah Bonaventura menjadi katekis abadi di paroki Saribudolok. Sampai akhir hayatnya, tahun 1973, ia membaktikan dirinya untuk pelayanan pastoral di Paroki Saribudolok. Bukan hanya waktu dan tenaga, lebih dari tigaperempat jiwanya, dibaktikannya untuk pelayanan pastoral.
Dalam periode 1951 – 1973 bersama para misionaris hampir 50-an stasi mereka dirikan, antara lain: Huta Tinggir, Naga Panei, Tiga Raja, Pancur Batu, Simantin III, Sait Buntu, Panombeian Panei, Simpang Raya,  Sibuntuon, Parjalangan, Karessek, Sinaman, Pandodingan, Bangun Purba, Bangun Pane, Baluhang, Purba Dolok, Gambiri, Manik Saribu, Pulian Baru, Dolog Huluan dan masih banyak stasi di sekitar Saribudolok dan atau Lawe Desky (lihat lampiran, tahun berdirinya stasi-stasi). Sebagian besar stasi yang mereka dirikan sudah direvitalisasi menjadi bagian dari Paroki St. Yoseph – Jl. Bali, Pematangsiantar atau Paroki Lawe Desky.
Jadi boleh dikatakan bahwa pada periode awal, baik Tanah Karo, Aceh Tenggara dan sebagian wilayah paroki St. Yosep – Jl. Bali, adalah bagian dari Paroki Saribudolok.
Dengan perkembangan umat yang demikian pesat dan juga luasnya daerah yang dilayani, P. Elpidius pun tidak sanggup lagi sendirian. Selain dibantu oleh Katekis ia akhirnya dibantu oleh misionaris lain di antaranya: P. Henricus Blaijs, OFM Cap (Nopember 1963 – April 1968) dan P. Evaristus Albers, OFM Cap (Februari 1966 – Agustus 1974). Dengan didukung oleh para Katekis jumlah umat pun bertumbuh begitu pesat. Katekis selalu bersedia menemani mereka mengunjungi, mendampingi dan memimpin umat dengan katekese dan ibadat.
Ketekis yang patut dikenang dan dihargai oleh paroki ini antara lain: Kenan Mase Hutabarat, Petrus Datubara dan Bonaventura Yaep Lin Hin Purba.
Perkembangan Paroki Saribudolok, bukan hanya dalam jumlah umat semata, akan tetapi juga pertumbuhan dan pekembangan panggilan menjadi rohaniwan/ wati. Panggilan rohaniwan-rohaniwati bertumbuh amat subur. Tepatnya pada tanggal 01 Agustus 1950 sudah ada beberapa putri Paroki Saribudolok yang menjadi suster, di antaranya: Sr. Bernadetta Saragih dari Stasi Harang Gaol; Sr. Marietta Purba, Sr. Yosefine Batubara; keduanya berasal dari Stasi Purbasaribu – dulu masih status sebagai Stasi Harang Gaol. Mereka bertiga masuk suster dalam waktu yang bersamaan dalam Kongregasi Suster  Santo Yosef (KSSY) – Medan. Mereka bertiga inilah putri Paroki Saribudolok yang pertama sekali menjadi suster. Walau pada awalnya tampak lambat akan tetapi tanda-tanda keterbukaan dan kesediaan untuk menjadi imam sudah tampak di kalangan umat. Setidaknya pada tanggal 02 Agustus 1961 sudah ada putra paroki ini yang bercita-cita menjadi imam, yakni P. Thomas Saragi, OFM Cap. Dialah imam pertama putra Paroki Saribudolok.

2.     Masa Transisi: Pastor non Pribumi – Pastor Pribumi (tahun 1970 – 1985)
KADERISASI
Secara umum di wilayah Sumatera Utara bukan hanya umat yang bertambah pesat; panggilan untuk calon-calon imam dan biarawati pun juga bertumbuh dengan subur. Imam-imam pribumi mulai muncul. Maka sejak bulan Juli 1970 paroki Saribudolok, tidak lagi hanya dilayani oleh pastor-pastor dari Belanda tetapi juga pastor pribumi.
Pastor pribumi yang pertama sekali melayani paroki Saribudolok adalah P. Fidelis Sihotang, OFM Cap (Juli 1970 – Juni 1973), selanjutnya adalah P. Rafael Hutabarat, OFM Cap (Juli 1973 – Desember 1973) P. Venansius Sinaga, OFM Cap (Juli 1974 – Desember 1975), P. Yustinus Tinambunan, OFM Cap (Agustus 1974 – April 1980), P. Kosmas Tumanggor, OFM Cap (Juli 1976 – Juni 1978), P. Marianus Simanullang, OFM Cap (Juni 1978 – Agustus 1983 dan Agustus 1985 – Juni 1988), P. Antonius Siregar, OFM Cap (April 1980 – Agustus 1985) dan P. Raymond Simanjorang, OFM Cap (Agustus 1983 – Desember 1991). Secara bergantian bersama para misionaris pastor pribumi turut berkarya menggembalakan umat dan mengembangtumbuhkan paroki. Masa ini boleh dikatakan sebagai masa transisi, peralihan dari pastor misionaris Kapusin Belanda kepada pastor pribumi. Selain karena jumlah misionaris sudah terbatas dan tua, hal ini juga merupakan bukti bahwa tanggungjawab kegembalaan akan dilanjutkan oleh imam pribumi.

3.     Tahap Ketiga: Pastor Pribumi (tahun 1985 – 1991)

MURID MENJADI PEMIMPIN
Seiring dengan perjalanan waktu, misionaris dari Belanda semakin berkurang; Pastor Elpidius pun sudah amat tua. Terpaksa oleh tuntutan usia maka pada tahun 1983 ia diistirahatkan di Pematangsiantar. Dengan demikian Paroki Saribudolok memasuki sejarah baru: “Pastor Pribumi”. Dengan demikian tibalah saat paripurna pelayanan misionaris dan tibalah awal yang baru: “Total Pastor Pribumi”. Gampang atau sulit, senang atau susah, oleh karena tugas kegembalaan yang ditakdiskan kepadanya, tugas kegembalaan mesti diemban oleh pastor Pribumi. Suka atau tidak suka umatpun mesti menerima Pastor Pribumi sebagai pastornya. Syukur kepada Tuhan, bahwa iman yang tumbuh dalam diri umat bukanlah iman akan misionaris melainkan iman akan Tuhan Yesus Kristus yang diwartakan oleh setiap imamNya. Pastor pribumi pun diterima dengan sangat terbuka.

Pastor Pribumi yang pernah menjabat sebagai Pastor Paroki di Paroki Saribudolok antara lain: Yustinus Tinambunan, OFM Cap, Marianus Simanullang, OFM Cap, Raymond Simanjorang, OFM Cap, Harold Harianja, OFM Cap, Donatus Marbun, OFM Cap, Thomas Sinabariba, OFM Cap, Theodorus Sitinjak, OFM Cap, Samuel Aritonang, OFM Cap, Albertus Pandiangan, OFM Cap, Ambrosius Nainggolan, OFM Cap, bahkan pada periode ini sebagai tanggungjawab umat terhadap keberadaan imam, cukup banyak umat yang menyekolahkan anaknya ke Seminari untuk menjadi imam.
Hingga tahun 2010, anak Paroki Saribudolok telah 22 orang ditahbiskan menjadi Imam, 2 orang Diakon, 4 orang Bruder yang berkaul kekal, 16 orang frater 128 Suster yang tersebar di berbagai Kongregasi/ Tarekat. Dan masih banyak lagi calon-calon Imam atau suster yang masih belajar di Seminari Menengah dan Seminari Tinggi. Oleh karena banyaknya calon Imam atau Suster dari Paroki Saribudolok, paroki ini dikenal dengan julukan “masuk 1 bus keluar 3 bus”. Maksudnya bahwa umat Paroki Saribudolok sangat antusias menyekolahkan anaknya menjadi pastor atau suster, akan tetapi masih jauh lebih banyak yang keluar. Ibarat ungkapan Injil, “banyak yang terpanggil sedikit yang terpilih”. Umat paroki ini sungguh bangga bila anaknya menjadi Pastor, Bruder atau Suster.


4.     Tahap Keempat: Dewan Pastoral Paroki (tahun 1991 – sekarang)
PEMBERDAYAAN AWAM

Sesudah ± 56 tahun menggereja, Pastor Elpidius telah “tiada” dan kepemimpinan paroki telah diemban oleh pastor pribumi; Paroki Saribudolok telah dianggap dewasa. Sebagai pengikut Kristus, Gereja sungguh sadar bahwa Tuhan tidak hadir secara fisik dan menuntun umat dengan perintah nyata sebagaimana lazimnya seorang guru; namun sungguh percaya akan kehadiran Kristus secara batiniah dan pendampingan Roh Kudus. Karena itu dirasakan perlu ada di antara umat yang merefleksi dan menerjemahkan atau membuat keputusan  bagaimana umat paroki ini akan mengikuti Tuhan. Maka kepada beberapa awam yang dipandang berbakat dan terpanggil, DPP disahkan dan dikukuhkan dalam jabatan kepemimpinan kolegial; dan beberapa karunia pelayanan pun dilembagakan untuk memelihara tata tertib dan melestarikan kesinambungan. Awam pun sungguh diberdayakan.
Maka pada tahun 1990 dibentuklah Dewan Pastoral Paroki (DPP): ada yang Harian, ada yang Inti dan ada yang Pleno yang mencakup semua pemimpin teritorial dan kategorial. Salah satu tugasnya adalah menetapkan visi dan misi paroki sebagai panduan, pedoman arah dan tujuan kita meng-Gereja. Penggembalaan paroki bukan lagi hanya ditanggungjawabi oleh para pastor melainkan juga bersama dengan awam yang dianggap mampu dan berdedikasi.
Mereka yang pernah mengabdi dalam jajaran DPP harian antara lain:
Ø  Periode tahun 1991 – 1993: Jan Naman Sipayung, Gugu Dominikus Sipayung, Agustinus Purba, Fransiskus Hotman Sipayung, dan Kondan Sipayung.
Ø  Periode tahun 1994 – 1996: Jan Naman Sipayung, Gugu Dominikus Sipayung, Fransiskus Hotman Sipayung, Albert Sinaga, Melanthon Fransiskus Lingga, Karianna Br. Saragih.
Ø  Periode tahun 1997 – 1999: Jahotni Philippus Manihuruk, Gugu Dominikus Sipayung, Jhon Lesman Girsang, Fransiskus Hotman Sipayung, Abert Sinaga, Mangasi Manik, Karianna br. Saragih, Petronella br. Purba, Kasim Peranginangin, Budimanson Sinaga, Jonni Rosevelt Manalu dan Paulus Saragih.
Ø  Periode tahun 2000 – 2002: Mangasi Manik, Fransiskus Xaverius Purba, Alexander Haloho, Albert Sinaga, Fransiskus Hotman Sipayung, Karianna Br. Saragih, Petronella br. Purba, Alexius Ginting, Sr. Yuliana Ginting.
Ø  Periode tahun 2003 – 2005: Alexander Haloho, Fransiskus Xaverius Purba, Abert Sinaga, Johotni Philippus Manihuruk, Mangasi Manik, Fransiskus Hotman Sipayung, Karianna Br. Saragih, Petronella br. Purba, Sr. Vinsensia Tarigan, Tombang A. Simbolon, Radisman Sinaga, Arisan Sinurat.
Ø  Periode tahun 2006 – 2008: Albert Sinaga, Fransiskus Xaverius Purba, Petrus T. Rumahorbo, Sr. Vinsensia Tarigan, Ratna Veronica br. Sinaga, Lincon Sinaga, Tombang A. Simbolon, Sarwedin Girsang, Radisman Sinaga, Kasim Peranginangin, Rohben Saragih.
Ø  Periode tahun 2009 – 2011: Jahotni Philippus Manihuruk, K. Peranginangin, PT. Rumahorbo, Fendy Raya Girsang, Risma Florida Purba, Sr. Vinsensia Tarigan, Monang Siallagan, Rajin Simarmata, Astra Peranginangin, Kamse Damanik, Misran Girsang, Jansinus Sinurat, Sarwedin Girsang, Makdin Saragih.

            Pemberdayaan awam tidak muncul begitu saja; sebelum periode ini pun sudah ada pengkaderan Tenaga Pastoral Awam (TPA). Mereka betul dipersiapkan baik dengan kursus formal maupun pengkaderan non formal. Umat paroki ini, yang sempat mengikuti pembinaan TPA yang diselenggarakan oleh Keuksupan Agung Medan dan ikut terjun mengadakan pembinaan ke stasi-stasi: Jahotni Philippus Manihuruk (Tiga Raja), Lasmen Ginting (Saran Padang), Saudin Purba (Sirpang Sigodang) Jabali Viktorianus Simanjorang (Kodon-Kodon), Mintas Simanjorang (Paropo)
KARYA PASTORAL KATEGORIAL
PAROKI SARIBUDOLOK
            Selain bidang pewartaan iman, pelayanan Sakramen/ Sakramentalia paroki Saribudolok pun telah lama bergerak dalam pastoral kategorial: pendidikan, asrama dan kesehatan. Karya pendidikan antara lain: Taman Kanak-kanak (TK) Harapan – Saribudolok, yang dikelola oleh suster SFD. Sedangkan SD Don Bosco – Saribudolok, SMP St. Agustinus – Haranggaol, SMP Bunda Mulia – Saribudolok dan SMA Duijnhoven – Saribudolok dikelola oleh Yayasan St. Yosef – Medan. Karya Kesehatan, yakni Poliklinik St. Fransiskus, dikelolah oleh para suster SFD.
            Lewat karya pendidikan tak terhitung lagi banyaknya orang yang telah beroleh pendidikan dan hidup yang lebih manusiawi; bukan hanya yang beragama Katolik melainkan juga masyarakat sekitar pada umumnya.

1.     Karya Pendidikan
A.   Taman Kanak-kanak (TK) Harapan – Saribudolok
      TK Harapan – Saribudolok lahir dari permintaan masyarakat dan anjuran pemerintah bahwasanya sebelum masuk sekolah (SD) anak-anak sebaiknya sudah mendapatkan pendidikan. Menanggapi kebutuhan masyarakat dan anjuran pemerintah, maka pada tanggal 06 September 1976, di Saribudolok dibuka Taman Kanak-kanak yang diberi nama Harapan. Pada awalnya selain sebagai tempat belajar anak, TK ini juga sekaligus merupakan penitipan bayi. Akan tetapi sesudah izin opresional resmi keluar dari pemerintah, yakni pada tanggal 28 Februari 1989, penitipan bayi ditutup dan hanya menerima anak yang hendak sekolah. Ruangan penitipan bayi pun dialihkan menjadi ruang belajar TK.
      TK Harapan – Saribudolok dikelola oleh para suster SFD di bawah naungan Yayasan Setia Medan. Kepala sekolah pertama di TK ini adalah Sr. Constantia Evaria Purba, SFD, Sr. Ricarda Bangun, SFD (1995-1998),  Sr. Maria Flavia Simbolon, SFD (1998-2001), Sr. Klemensia Simbolon, SFD (2001-2002), Sr. Skolastika Simbolon, SFD (2002-2005), Sr. Caroline Tarigan, SFD (2005-2009), Sr. Maria Lydianes Sembiring, SFD (2009-sekarang).
      Sejak tahun 2000-2010 TK ini telah mendidik 1.017 orang anak, dan siswa tahun terakhir berjumlah 120 orang.

B.   Taman Kanak-kanak (TK) St. Fransiskus Assisi – Harang Gaol
      TK St. Fransiskus Assisi – Harang Gaol, berdiri pada tahun 1988. Sama halnya dengan TK – Harapan - Saribudolok, TK St. Fransiskus Assisi Haranggaol pun lahir dari permintaan masyarakat. Menanggapi kebutuhan masyarakat, maka pada tahun 1988 TK St. Fransiskus mulai beroperasi. Namun izin dari Dinas Pendidikan baru keluar pada tanggal 31 Desember 2003. . Dua tahun pertama TK ini memakai gedung darurat milik KAM, persis di pinggir Danau Toba. Kemudian pada tahun 1991, sesudah suster membeli rumah di samping susteran, TK ini pun pindah ke rumah itu. Selama 19 tahun TK ini tetap memakai gedung darurat tersebut. Barulah sesudah tahun 2010 rumah itu di renovasi dan lebih memadai untuk tempat belajar TK.
      Sejak berdirinya TK ini telah mendidik anak usia dini sebanyak 667 orang. Jumlah siswa tahun 2010/2011 sebanyak 64 orang.

C.   Sekolah Dasar (SD) Don Bosco – Saribudolok
      SD Don Bosco – Saribudolok didirikan pada tahun 1967 oleh Pastor Elpidius van Duijnhoven bersama Suster dan beberapa tokoh umat. Gedungnya darurat: lantai papan, tiang panggung dan dibangun dengan memakai papan bekas Asrama Putri. Pendirian ini lahir dari suatu keyakinan dan kebutuhan akan pentingnya pengetahuan dan pendidikan bagi masyarakat. Mula-mula hanya diperuntukkan untuk pemberantasan buta huruf, belum sekolah formal. Mereka belajar hanya pada hari Minggu. Namun demikian jumlah murid cukup menggembirakan, 70 orang. Karena ruangan tidak sanggup menampung ke-70 anak, mereka dibagi dua kelompok, A dan B. Secara bergantian mereka mempergunakan ruangan yang kecil dan serba darurat itu; kelompk A pagi hari dan kelompok B siang hari. Demikian seterusnya secara bergantian.
      Melihat antusiasme masyarakat menyekolahkan anaknya, untuk dapat menampung siswa yang lebih banyak, tidak lama kemudian yakni pada tanggal 1 Juli 1968 dibangunlah gedung semi permanen. Serentak dengan itu sekolah ini pun berkembang menjadi sekolah.
     

D.   Sekolah Menengah Pertama (SMP) St. Agustinus – Haranggaol
      SMP St. Agustinus – Haranggaol tidak jelas tahun berapa berdiri dan siapa pendirinya, tak seorangpun yang mengingatnya. Akan tetapi menurut catatan yang ada di dinding lemari gereja, berdiri pada tahun 1933, pada hal pada tahun itu belum ada misionaris yang datang ke Haranggaol.
      Sekolah ini dibangun demi kebutuhan masyarakat dan tanahnya dihibahkan oleh Raja Purba. Pada awalnya gedung sekolah ini berfungsi ganda: sebagai tempat Sekolah Rakyat (SR – setingkat SD) dan sekaligus sebagai tempat ibadah (gereja). Dana pembangunan ini semuanya diusahakan oleh pastor misionaris Belanda.
      Pada tahun 1954 pemerintah membangun Sekolah Rakyat (SR) di Haranggaol, akibatnya SR St. Agustinus ditutup. Akan tetapi tidak lama kemudian yakni pada tanggal 01 Agustus 1954 SR St. Agustinus beralih menjadi Sekolah Guru Bawah (SGB) dengan kepala sekolah Bapak Robertus Saragih.
      Untuk menampung anak-anak dari kampung yang jauh juga dibangun Asrama dan rumah guru, sehingga muridnya bukan hanya anak-anak Haranggaol saja, melainkan juga dari berbagai tempat. Bahkan waktu itu muridnya justru lebih banyak datang dari Simpang Haranggaol. Pada waktu itu inilah satu-satunya SGB yang ada di Simalungun Atas.
      SGB hanya bertahan 3 tahun. Pada tahun 1957 beralih status menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Waktu itu uang sekolah masih dibayar dengan beras ditambah uang.

E.   Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bunda Mulia  - Saribudolok
      Cikal bakal SMP Bunda Mulia – Saribudolok adalah sekolah keterampilan khusus perempuan (SKKP). Nama asalnya adalah SKKP Bunda Mulia, karena hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan, berdiri pada tanggal 01 Agustus 1958 dalam asuhan Yayasan Setia Medan. Pada awalnya peminat cukup banyak dan sempat sampai 3 lokal, semua murid hanya perempuan.
      Akan tetapi sejak tahun 1975 peminat SKKP menurun drastis dan kurang diminati masyarakat, justru masyarakat mengusulkan agar didirikan SMP saja. Sehingga pada tahun 1976 SKKP tidak lagi menerima siswa baru, sekolah hanya tinggal berjuang untuk menamatkan siswa yang sudah kelas II dan III, seluruhnya ditamatkan pada tahun 1978.
      Sambil menamatkan siswa yang masih “sisa”, sekolah ini sudah menerima murid baru untuk kelas I sejumlah 56 orang akan tetapi dengan status sebagai SMP. Guru-guru SKKP pun beralih menjadi guru SMP Bunda Mulia. Tahun kedua penerimaan murid SMP, jumlah murid baru melonjak hingga 116 orang. Dan pada tahun 1978, sekolah ini hanya menerima siswa sebanyak 120 orang karena keterbatasan ruangan kelas. Murid tamatan pertama SMP ini (1978/1979), untuk ujian nasional masih menumpang di SMP Negeri 1 Saribudolok.
      Demikianlah sekolah ini terus meningkat hingga saat ini berjumlah 15 lokal dengan jumlah rata-rata/ lokal 46 orang.
     

F.    SMA Cinta Rakyat Duijnhoven – Saribudolok
            SMA Cinta Rakyat Duijnhoven berdiri tahun 1986, diprakarsai oleh Pastor Raymond Simanjorang, OFM Cap  bersama dengan Dewan Pastoral Paroki Saribudolok.
            Latarbelakangnya adalah bahwa pada tahun 1983, Saribudolok dipercayakan sebagai tuan rumah pentahbisan P. Aneselmus Haloho, OFM Cap menjadi imam dan sekaligus pesta emas imamat  Pastor Elpidius. Dalam rangka pesta ini mucul ide, “apa kiranya yang cocok ‘dihadiahkan’ kepada pastor Elpidius, sebagai kenangan atas pengabdiannya selama di paroki ini?” Dalam diskusi dan pembahasan, panitia memutuskan untuk membangun monumen/ patung Oppung Dolog di depan gereja Stasi Saribudolok. Ide itu disampaikan kepada putra-putri Saribudolok yang ada di perantauan. Mereka mendukung dan menyambut ide itu dengan senang hati. Akan tetapi setelah ide itu disampaikan kepada Oppung Dolog, ternyata dia keberatan. Dia katakan, saya tidak mau tugu yang mati, saya jauh lebih bahagia jika anak-anak paroki ini bisa bersekolah. Dengan ungkapan itu muncullah ide untuk mendirikan sekolah sebagai “kado manis dan tugu hidup” yang dibaktikan kepada Tuhan atas pengabdian dan karya Elpidius van Duijnhoven selama di Paroki Saribudolok. Akhirnya panitia menyepakati pendirikan SMA yang akan diberi nama SMA Van Duijnhoven. Untuk itu segala sesuatunya mulai diersiapkan. P. Marianus Simanullang memebeli tanah ± 3 ha di Jalan Kabanjahe untuk lokasi sekolah.
            Panitia pembangunan pun dibentuk dan pembangunan dimulai. Namun menunggu pembangunan selesai, SMA Duijnhoven untuk sementara berada di Jl. Mesjid – Saribudolok (1986), satu tahun kemudian (1987), sesudah gedung selesai dibangun dan diberkati oleh Mgr. Pius Datubara, sekolah pindah ke Jl. Kabanjahe.  Sekolah ini secara resmi diberi nama SMA Swasta Cinta Rakyat Duijnhoven – Saribudolok. Akan tetapi yang akrab di kalangan masyarakat adalah SMA Duijnhoven saja.
            Selain sumbangan daripada donator, gedung sekolah ini dibangun dengan partisipasi umat separoki Saribudolok dengan jumlah Rp 200.000/ kk.
           
2.     Karya Kesehatan
A.   Poliklinik St. Fransiskus Asisi Saribudolok
      Poliklinak St. Fransiskus Assisi – Saribudolok berawal dari penyemangatan, gagasan dan anjuran seorang dokter asal Jerman yang bertugas di Rumah Sakit (RS) Bethesda – Saribudolok, sekitar tahun 1967. Ia sering datang berkunjung di susteran dan mengusulkan supaya dibuka Balai Pengobatan (BP) Katolik. Alasannya, karena pada waktu itu hanya ada satu BP di Saribudolok yakni BP Sekata, padahal pelayanan kesehatan masyarakat masih sangat dibutuhkan.
      Waktu itu suster yang berkarya di Saribudolok: Sr Lusia, SFD; Sr. Hyasinta, SFD; dan Sr. Constansia, SFD (alm). Untuk memulainya, Sr. Josephine, SFD; seorang suster misionaris asal Belanda yang waktu itu bertugas di Pati diundang ke Saribudolok. Sarana dan prasarana sudah mulai dilengkapi. Namun situasi berkata lain, sewaktu Sr. Josephine pergi ke Medan naik mobil landrover, bersama rombongan, mereka jatuh di Sembahe; Sr. Josephine mengalami geger otak dan dia terpaksa pulang ke Belanda. BP yang sudah dipersiapkan pun terpaksa harus ditunda.
            Pada tahun 1985, saat Kapitel Umum SFD di Negeri Belanda, timbul kembali pemikiran untuk menuntaskan pendirian BP yang sudah direncanakan 18 tahun sebelumnya. Namun tenaga kesehatan yang dibutuhkan belum memadai. Oleh karena itu, dengan pertimbangan tenaga yang masih sangat terbatas, Dewan Regio SFD – Indonesia mengusulkan kepada Pimpinan Umum SFD di Dongen agar Sr. Bernadetta membuka pelayanan kesehatan sekali seminggu di Saribudolok; setiap hari Rabu saja.
            Akhirnya, pada tahun 1987, poliklinik St. Fransiskus Assisi – Saribudolok resmi dibuka meskipun belum ada izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun. Sr Bernadetta telah memulai pelayanan kesehatan setiap hari Rabu, mula-mula bertempat di Kantor Yayasan yang dikelola SFD dekat susteran Alverna – Saribudolok. Dengan setia dan ramah Sr. Bernadetta melayani pasien di tempat yang amat sederhana itu ± 2 tahun.
            Pada tahun 1989, muncul perkembangan baru dengan tersedianya tenaga suster yang dikhususkan untuk pelayanan kesehatan yakni Sr. Venantia, SFD. Pelayanan kesehatan bukan lagi hanya pada hari Rabu tetapi setiap hari.
            Tahun 1993, pada saat Sr. Juliana bertugas di Saribudolok, izin Dinas Kesehatan pun di urus ke  Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun. Izin resmi keluar pada tahun 1994.
            Seiring dengan perjalanan waktu fasilitas dan mutu pelayanan pun semakin ditingkatkan, pasien semakin banyak yang berobat. Dirasakan pula bahwa fasilitas yang ada itu tidak lagi memadai. Maka pada tahun 1997 dibangunlah Poliklinik yang baru dengan fasilitas rawat inap. Gedung dipindahkan dari lokasi lama ke Jalan Kabanjahe – Saribudolok. Pembangunan selesai pada tahun 1998 dan diberkati pada tanggal 22 Februari 1998 oleh P. Emmanuel Sembiring, OFM Cap. Sejak saat itu poliklinik telah menerima pasien rawat inap walaupun belum ada tenaga dokter yang menetap. Tenaga dokter baru tersedia sejak tahun 2000. Dokter yang pernah bertugas di poliklinik ini antara lain: dr. Elias Siahaan, dr. Kristinus Rumahorbo, dr. Binsar Sagala dan dr. Henny br. Saragih.
            Dalam perjalanannya, pengelolaan poliklinik ini banyak mengalami suka dan duka. Tetapi syukur kepada Tuhan bahwa hingga saat ini masih tetap dipercayai masyarakat.

B.   Balai Pengobatan St. Fransiskus – Harang Gaol
      Balai Pengobatan (BP) St. Fransiskus Assisi – Haranggaol mulai beroperasi pada tahun 1988. Dirintis oleh Bernadeth, SFD dan dikelola oleh suster SFD.
      Sejak tahun 1988 – 1999 BP ini beroperasi di sebuah rumah kontrakan. Dan pada tahun 2000, barulah BP ini menggunakan gedung sendiri.

3.     Karya Pendampingan Asrama: Putra dan Putri
            Pendampingan Asrama sudah ada sejak tahun 1954 yakni untuk menampung siswa SKKP yang berasal dari luar Saribudolok. Pada awalnya ditangani oleh para suster SFD, akan tetapi pada tahun 1967 pengelolaanya diserahkan kepada paroki. Dengan penyerahan itu aula paroki pun dialihfungsikan menjadi Asrama Putra/i. Aula disekat menjadi dua bagian: satu bagian untuk Asrama Putra dan sebagian lagi untuk Asrama Putri.
            Walau dengan fasilitas yang sangat sederhana, memasak sendiri dan cari kayu bakar sendiri namun anak Asrama tetap berkembang dan bermutu. Disiplinpun terjamin. Sehingga orang tua murid yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik Saribudolok sangat berkeinginan supaya anaknya dapat masuk di Asrama. Maka secara tidak langsung kehadiran Asrama ini sangat membawa dampak positip bagi keberadaan sekolah Katolik di Saribudolok. Pada awalnya Asrama hanya menampung siswa/i SMP, akan tetapi sejak tahun 1987, dengan berdirinya SMA Duijnhoven, juga menerima anak SMA.
            Seiring dengan semakin bertambahnya anak sekolah yang ingin tinggal di Asrama dan menuanya fasilitas bangunan yang ada, muncul pemikiran untuk pembangunan Asrama Baru dengan pengelolaan yang baru dan lebih berkwalitas pula. Pastor Paroki Saribudolok menawarkan pembangunan dan pengelolaan Asrama Putra kepada Odro Kapusin – Propinsi Medan  dan Asrama Putri kepada Kongregasi SFD. Walau belum ada dana untuk pembangunannya, baik Ordo Kapusin Propinsi – Medan maupun Korngregasi SFD tetap menyambut ide itu dengan baik.
            Akhirnya, Ordo Kapusin Propinsi – Medan maupun Kongregasi SFD mencari solusi dengan memproposalkan pembangunan itu kepada donatur di Belanda dan donatur pun menyanggupinya. Pada tahun 1999 Asrama Putra dibangun terpisah dari Asrma Putri, seberang-menyeberang, di Jalan Kabanjahe – Saribudolok, ± 600m dari lokasi Asrama semula Pembangunan selesai dan diresmikan pada tanggal 17 Februari 2001. Asrama Putra diberi nama Asrama St. Fransiskus Assisi dengan pengelolanya Ordo Kapusin Propinsi Medan dan Asrama Putri diberi nama Asrama St. Theresia dengan pengelolanya suster Kongregasi SFD.



REFLEKSI: Harapan ke Depan
Seperti Oppung Dolog, seorang hamba yang Menjadi Pemimpin yang Melayani dengan Baik

Sesudah ± 78 tahun menggereja, Paroki Saribudolok telah dianggap dewasa. Sebagai paroki yang sudah dewasa, umat beriman mesti sadar bahwa Tuhan tidak hadir secara fisik dan menuntun paroki ini dengan perintah nyata sebagaimana lazimnya seorang guru, namun harus sungguh percaya akan kehadiran Kristus secara batiniah dan pendampingan Roh Kudus. Karena itu di antara umat beriman paroki ini dalam semua tingkat dan jabatan, mesti merefleksi dan menerjemahkan atau membuat aksi  bagaimana umat paroki ini harus mengikuti Tuhan.
Dewan Pastoral Paroki (DPP) mesti mengambil inisiatif memaksimalkan pelayanan dan memelihara tata tertib dan kesinambungan kepemimpinan di semua tingkat dan jajaran. Perannya yang utama adalah menetapkan visi dan misi paroki sebagai panduan, pedoman arah dan tujuan meng-Gereja.
Bagaikan layaknya sebuah keluarga besar, paroki mesti dikekola dengan baik. Sebagai Keluarga Besar, karena Kristus sebagai Kepala Keluarga tidak hadir secara fisik, maka perlu ada yang mewakiliNya; yang berfungsi sebagai Pengurus Rumah Tangga yang diberi kuasa dan wewenang untuk mengurus hal-hal yang perlu dalam pelayanannya kepada umat. Dinamika kepemimpinan dan kepengurusan Rumah Tangga inilah cerminan khas kepemimpinan kristiani, yaitu hamba yang menjadi pemimpin yang melayani.
Maka jajaran Pengurus di paroki, dalam semua tingkat dan jajaran, mesti bercermin pada pesan Yesus dalam Injil Mat 23: 8 -12, “tetapi kamu, janganlah disebut Rabi, karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah Saudara”. Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya ada satu Bapamu, yaitu Dia yang di Surga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, barang siapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”
Sedang gambaran pengurus Rumah Tangga yang setia disampaikan dalam perumpamaan Lukas 12. Injil ini menjelaskan tiga sifat seorang pengurus Rumah Tangga, pertama: bertindak sebagai pelayan, bukannya sebagai pemilik atau majikan; kedua: kekuatan atau keutamaan pokok seorang Pengurus adalah perpaduan sifat bijaksana dan dipercaya, bisa diandalkan dan berpengalaman; ketiga: Konteks kepemimpinannya adalah situasi ketidakhadiran majikan. Dia mengambil keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan ketika majikan atau pemilik rumah tidak berada di tempat. Dengan demikian wewenang seorang Pengurus Rumah Tangga memang penuh, tetapi bersifat “pinjaman” sementara.
Perlu ada penyegaran kesadaran terus menerus bahwa seorang Pengurus Rumah Tangga pada hakikatnya bukanlah seorang pemilik. Sebagai umat Kristiani kita mesti sadar bahwa Gereja dan segala yang baik yang dihasilkannya adalah milik Tuhan. Namun demikian tanggungjawab yang dewasa, baik sebagai umat terutama sebagai pengurus mesti membuat kita untuk memperhatikan dan terlibat penuh memelihara kebaikan dan kemajuan paroki. Kita ada dalam dan bersama Gereja, namun sesunguhnya bukanlah kita pemiliknya melainkan Tuhan sendiri. Kita ditantang untuk memelihara dan mengembankan tanpa menguasai, menentukan tanpa memiliki.
Kita sungguh bangga dan beruntung pernah dikunjungi oleh para misionaris. Kita mengenal Tuhan dan Injil lewat kehadiran mereka. Namun serentak dengan itu, pembaktian diri mereka sekaligus mengjadi “hutang” kita. Kita mesti bertanggungjawab untuk melestarikan pembaktian diri mereka. Jangan pernah puas karena pernah mengenal misionaris dan menerima Kabar Gembira Tuhan dari mereka, Pada gilirannya putra-putri paroki harus menjadi misionaris. Jangan pernah merasa cukup karena telah banyak rohaniwan-rohaniwati putra-putri paroki ini; sedaya mampu dan sebanyak mungkin kita harus kerahkan putra-putri paroki ini menjadi misionaris. Secara badani, misionaris tidak mungkin melahirkan misionaris; keluarga beriman , itulah yang dapat melahirkannya. Jadi prinsip keluarga “dua atau tiga anak cukup” perlu kita kaji dan renungkan lebih serius. Jika kita benar mencintai misionaris dan Gereja setiap keluarga harus benar terbuka untuk melestarikan pembaktian diri para misionaris dengan mengutus dan mendoakan anak-anak kita agar terpanggil menjadi imam dan misionaris. Secara khusus dalam hal ini paroki Saribudolok tidak hanya bertanggungjawab untuk dirinya melainkan juga untuk Gereja Semesta. Apa jadinya Gereja Katolik kalau tidak ada lagi pastor atau suster? Jadi, tanggungjawab besar ada di pundak kita bersama. Kematangan paroki menuntut pemurnian terus menerus terhadap cinta kasih dan keterlibatan kita untuk kelestarian Gereja.
Akhirnya para pengurus Rumah Tangga yang dewasa dan bertanggungjawab memperhatikan juga terselenggaranya pembinaan yang memelihara pertumbuhan generasi muda untuk menjadi generasi penerus. Ia juga bertugas sebagai penyembuh luka atas kekeliruan, kesalahan atau kekurangan yang pernah terjadi, baik yang muncul dalam bentuk konflik maupun akibat kelalaian. Sehingga jika Yesus datang dan meminta pertangungjawaban, para pengurus Rumah Tangga Paroki kita, benar-benar tidak mengecewakan sang Guru, karena telah menjadi murid yang memimpin dengan baik. Selamat beryubileum, selamat bermisi, selamat memimpin dan selamat melayani.

2 komentar:

  1. terimaksih sebesar-besarnya kepada Gregorius tan atas jasa baiknya membantu stasi Soping untuk mewujudkan pembangunan gereja di stasi ini. Semoga tuhan memberkati dan iman umat di stasi ini seamkin berkembang.

    BalasHapus
  2. Suster Skolastika yang pernah mengajar saya di TK Harapan, ada dimana bertugas suster ?"

    BalasHapus