PANORAMA PAROKI ST. FRANSISKUS ASSISI
SARIBUDOLOK
1. Situasi Geografis
Paroki Saribudolok terletak pada 2,60º – 3,05º LU dan 98,35º–98,75º BT,
dengan ketinggian ± 1.300 – 1.400m di atas permukaan laut. Dan berada di 4
Kabupaten: Dairi, Deli Serdang, Karo dan Simalungun. Di Kabupten Dairi
berbatasan dengan Kecamatan Silalahi, di Kabupten Deli Serdang berbatasan
dengan Kecamatan Gunung Meriah, di Kabupaten Karo berbatasan dengan kecamatan.
Merek, di Kabupaten Simalungun berbatasan dengan Kecamatan Purba / Kecamatan Dolok
Pardamean. Di kabupaten Dairi ada 1 stasi, di kabupaten Deli Serdang 3 stasi,
di kabupaten Karo 9 stasi dan di kabupaten Simalungun 33 stasi.
2.
Keadaan Sosio – Kultural
Berhubung karena letaknya yang strategis dan berada di empat Kabupten, maka
umat paroki Saribudolok pun dengan sendirinya dihuni umat yang beraneka suku/
sub suku, adat dan bahasa. Di Paroki Saribudolok ada tiga sub suku dominan:
Simalungun, Karo, Toba. Selain itu ada juga sebagian kecil suku Nias dan Flores
yang merantau
Baik dari segi adat maupun bahasa, ketiga sub suku ini saling mempengaruhi satu sama lain. Pengaruh yang sangat positip adalah bahwa pada umumnya umat Katolik maupun masyarakat saling memahami dan saling mengakomodir kultur sub suku yang satu dengan kultur sub suku yang lain. Maka tidak heran kalau paroki ini akhirnya menjadi salah satu paroki yang sangat toleran dan dapat menerima perbedaan satu sama lain dengan sangat baik.
Di paroki Saribudolok, saat ibadat: pemakai bahasa Karo ada 6 stasi, pemakai bahasa Toba ada 10 stasi dan pemakai bahasa Simalungun 30 stasi. Keragaman sub suku, bahasa dan adat istiadat menjadi kekayaan tersendiri di paroki ini. Selain sebagai kekayaan, harus diakui juga bahwa keanekaan budaya dan bahasa menjadi kesulitan tersendiri dalam pelayanan pastoral. Setiap pelayan pastoral terutama imam yang berkarya di paroki ini mesti sanggup berkomunikasi dalam ketiga bahasa tersebut. Kalaupun tidak begitu fasih mengungkapkannya, alias “berpasir-pasir”, ia mesti dapat memahami bahasa itu dengan baik.
Baik dari segi adat maupun bahasa, ketiga sub suku ini saling mempengaruhi satu sama lain. Pengaruh yang sangat positip adalah bahwa pada umumnya umat Katolik maupun masyarakat saling memahami dan saling mengakomodir kultur sub suku yang satu dengan kultur sub suku yang lain. Maka tidak heran kalau paroki ini akhirnya menjadi salah satu paroki yang sangat toleran dan dapat menerima perbedaan satu sama lain dengan sangat baik.
Di paroki Saribudolok, saat ibadat: pemakai bahasa Karo ada 6 stasi, pemakai bahasa Toba ada 10 stasi dan pemakai bahasa Simalungun 30 stasi. Keragaman sub suku, bahasa dan adat istiadat menjadi kekayaan tersendiri di paroki ini. Selain sebagai kekayaan, harus diakui juga bahwa keanekaan budaya dan bahasa menjadi kesulitan tersendiri dalam pelayanan pastoral. Setiap pelayan pastoral terutama imam yang berkarya di paroki ini mesti sanggup berkomunikasi dalam ketiga bahasa tersebut. Kalaupun tidak begitu fasih mengungkapkannya, alias “berpasir-pasir”, ia mesti dapat memahami bahasa itu dengan baik.
3. Keadaan Umat
Seiring dengan perjalanan waktu, Paroki
Saribudolok pun menunjukkan pertumbuhan jumlah umat yang amat signifikan.
Terdata, per 31 Desember 2013 Paroki Saribudolok telah berjumlah 46 stasi dan 5
persiapan stasi (Mardingding 31 kk, Hoppoan (18 kk), Sinar Baru (20 kk), Gaja Pokki,
18 kk). Jadi praktisnya, Paroki Saribudolok ada 51 stasi. Dengan jumlah umat
seluruhnya 30.553 jiwa.
Secara Rayon, Paroki Saribudolok terdiri dari 6 Rayon: Rayon Saribudolok ada 9 stasi (Saribudolok, Bandar Hinalang, Purba Hinalang, Banua, Purba Tua, Huta Tinggir, Jandimariah, Huta Saing dan Silaumerawan); Rayon Tongging: 6 stasi (Soping, Baluhut, Sibolangit, Tongging, Kodon-kodon dan Paropo); Rayon Garingging: 7 stasi (Tiga Raja, Situnggaling, Pansur Batu, Pertibi Lama, Pertibi Tembe, Garingging dan Nagara); Rayon Harang Gaol: 6 stasi (Purba Saribu, Harang Gaol, Halaotan, Salbe, Gaol dan Nagori Purba); Rayon Tiga Runggu: 9 stasi (Tiga Runggu, Naga Pane, Purba Tongah, Pematang Purba, Huta Raja, Saribujandi, Bulumaganjang dan Sipolin, Bagot Raja ); Rayon Saran Padang: 9 stasi (Panribuan, Panribuan Jahen, Perasmian, Saran Padang, Sindar Dolog, Gunung Panribuan, Gunung Meriah, Dolog Mariah, dan Marjandi Pematang). Dengan jumlah umat seluruhnya 30. 553 jiwa).
Selain hitungan sebagai umat pantas diketengahkan bahwa Paroki Saribudolok telah menjadi salah satu paroki penyumbang rohaniwan/ wati terbesar dari Keuskupan Agung Medan. Hingga saat ini seturut data yang dapat dihimpun ada 25 imam yang ditahbiskan, 12 orang calon imam di Seminari Tinggi dan 4 orang Bruder, yang tersebar di berbagai Ordo, Tarekat atau Unio yang ada di Indonesia. Selain itu Paroki Saribudolok juga telah memunculkan 134 suster. Jumlah seluruhnya ada 173 orang; belum terhitung postulan yang ada dalam tarekat atau Ordo serta calon imam yang masih belajar di Seminari Menengah.
1. KSSY = 19 orang
2. CB = 3 orang
3. FCh = 2 orang
4. FSE = 17 orang
5. KYM = 20 orang
6. SFD = 52 orang
7. KSFL = 6 orang
8.
FCJM = 7 orang
9. OSF = 1 orang
10.
SND = 1 orang
11.
OFM Cap. = 25 orang
12.
OFM Conv. = 6 orang
13.
OFM = 1 orang
14.
BM = 1 orang
15.
Pr = 6 orang
16.
Philipina = 6 orang
JUMLAH = 167 ORANG
Imam =
25 orang
4.
Lembaga Hidup Bakti (LHB)
Suster pertama yang hadir dan berkarya di paroki adalah Sr. Antonetta, SFD dan Sr. Bibiana, SFD. Pada awalnya, sebagai misionaris, mereka datang dari Dongen (Belanda) dan tinggal di Kabanjahe. Dari Kabanjahe, secara teratur dan setia mereka mengunjungi Saribudolok untuk kerasulan dalam karya kesehatan, pendampingan umat khususnya pemberdayaan kaum perempuan, urusan rumah tangga pastoran dan pendampingan Asrama. Karya istimewa rintisan mereka adalah sekolah keterampilan khusus perempuan (SKKP), yang kemudian beralih menjadi SMP Bunda Mulia – Saribudolok. SKKP telah dimulai pada tahun 1958 dan sejak itu pula mereka tinggal menetap dan berkarya di Paroki Saribudolok.
Perjalanan Paroki Saribudolok tidak hanya diprakarsai oleh para Imam
tetapi juga oleh lembaga hidup bakti (LHB), yakni para Suster Fransiskan Dina
(SFD). Sebelum tahun 1958 mereka telah
hadir dan turut mewarnai perjalanan dan
perkembangan paroki ini.Suster pertama yang hadir dan berkarya di paroki adalah Sr. Antonetta, SFD dan Sr. Bibiana, SFD. Pada awalnya, sebagai misionaris, mereka datang dari Dongen (Belanda) dan tinggal di Kabanjahe. Dari Kabanjahe, secara teratur dan setia mereka mengunjungi Saribudolok untuk kerasulan dalam karya kesehatan, pendampingan umat khususnya pemberdayaan kaum perempuan, urusan rumah tangga pastoran dan pendampingan Asrama. Karya istimewa rintisan mereka adalah sekolah keterampilan khusus perempuan (SKKP), yang kemudian beralih menjadi SMP Bunda Mulia – Saribudolok. SKKP telah dimulai pada tahun 1958 dan sejak itu pula mereka tinggal menetap dan berkarya di Paroki Saribudolok.
Keindahan danau Toba dan kesejukan Harang Gaol menjadi daya tarik tersendiri bagi para suster untuk membuka karya dan komunitas di sana. Maka pada tahun 1988 mereka juga membuka karya di sana. Selain penyuluhan kesehatan dari kampung ke kampung, mengajar di sekolah (TK, SMP) juga turut mendapingi stasi untuk katekese.
Awalnya mereka tinggal dan berkarya di rumah kecil milik KAM. Akan
tetapi karena perkembangan dan antusiasme umat menyambut kehadiran suster, akhirnya
pada tahun 1989 mereka membangun rumah suster dan poliklinik dan diresmikan
oleh Mgr. Pius Datubara pada tanggal 04 Maret 1990. Dengan terbangunnya susteran,
dalam skala kecil, mereka juga melayani kelompok umat yang ingin rekoleksi atau
retret di sana.
MISI
GEREJA KATOLIK DI PAROKI SARIBUDOLOK
1.
Tahap Awal: Pastor non Pribumi (tahun 1935
– 1970)
a) AWAL KEHADIRAN MISI
KATOLIK DI PAROKI SARIBUDOLOK: KEHADIRAN PASTOR ELPIDIUS VAN DUIJNHOVEN, OFM
CAP.
Gereja Katolik Paroki Saribudolok dirintis oleh misionaris
Kapusin propinsi Belanda, Elpidius van Duijnhoven, OFM Cap. Setelah pemerintah
Belanda, secara resmi mengijinkan Misi Katolik masuk ke Tanah Batak (1935), Oleh
Mgr. Matthias Brans, Pastor Elpidius ditugaskan
berorientasi dan bermisi di daerah
Simalungun sebelah Utara dan Timur
Danau Toba. Misi diawali oleh P. Elpidius dari Saba Dua, (± 7 km dari
Pematangsiantar). Waktu itu, sebelum Perang Dunia II, daerah Simalungun masih dikuasai oleh raja-raja. Setiap raja mempunyai daerah
tersendiri dan rakyat setempat sangat
taat pada rajanya. Pada masa ini pun
penduduk daerah Simalungun secara umum
masih menganut agama Parmalim; hanya
sebagian kecil yang sudah beragama Protestan (HKBPS = Huria Kristen Batak Protestan Simalungun; sekarang menjadi GKPS =
Gereja Kristen Protestan Simalungun).
Selama 3 tahun P. Elpidius mempelajari daerah
Simalungun bagian Utara dan Timur Danau Toba. Sambil mengamati prospek missi ternyata
dia juga sudah mulai mendirikan beberapa stasi, 40 – 60 km dari Saba Dua; antara
lain: Stasi Saribudolok, Purba Hinalang, Haranggaol, Pematang Purba, Tiga
Runggu dan Sipolin, Nagori Purba dan Halaotan. Dan sungguh menakjubkan bahwa dalam
waktu yang masih sangat singkat permulaan misinya yakni pada tahun 1935,
tepatnya tanggal 24 Nopember P. Elpidius telah mengadakan pembaptisan pertama
di Harang Gaol, yakni Maknir Paulus Sihaloho.
Prospek missi ke Simalungun bagian Utara dan Timu
Danau Toba semakin menggembirakan dengan keterbukaan orang-orang setempat
kepada Injil dan kesediaannya menjadi Katolik. Maka pada tanggal 23 Januari
1938, P. Elpidius telah mengadakan pembaptisan keduakali di Bandar Saribu –
Haranggaol, yakni Abel Sinaga, Dariam Purba, Helena br. Saragih dan Lucia br.
Simarmata. Satu minggu kemudian, tanggal 30 Januari 1938, barulah dia mengadakan
pembaptisan pertama di Purba Hinalang, yakni Petrus Fidelis Batubara dan Sinta
Rustina br. Batubara.
Di satu pihak, walau Elpidius masih sangat terbatas
dalam penguasaan bahasa dan peta daerah, akan tetapi di lain pihak, melihat
kesempatan sudah terbuka untuk misi Katolik, ia merekrut Bapak Kenan Mase
Hutabarat untuk menjadi “guru” bahasa, Katekis dan sekaligus sebagai rekannya
dalam bermisi. Selain Kenan, ia juga merekrut Laur Viator Hutabarat. Pada
masa-masa awal itu, secara bergantian mereka berdua menjadi pendamping setia
bagi Elpidius dalam perjalanan mengunjungi kampung-kampung sampai ke pedalaman.
b) DARI SARIBUDOLOK KE ACEH
TENGGARA
Sebenarnya, pada masa awal misi, daerah Simalungun
Atas tidak hanya dilayani oleh P. Elpidius, tetapi juga oleh P. Nepomucenus
Hamers, OFM Cap, yang datang dari Sidikalang. Dalam waktu 3 tahun permulaan
misi, tanpa meninggalkan daerah Simalungun, P. Elpidius bersama dengan P.
Hamers sudah bermisi sampai ke daerah Aceh Tenggara (± 170 km dari
Saribudolok). Dalam kurun tiga tahun itu mereka telah mendirikan stasi di Ranto
Dior (Kuta Cane), Lau Bekung dan Lau Balang. Sebab pada tanggal 28 September
1938 P. Hamers telah mengadakan pembaptisan pertama di Ranto Dior; dan besoknya
juga mengadakan pembatisan di Lau Bekung. Empat bulan kemudian berulah dia mengadakan
pembaptisan pertama di Lau Balang.
Daerah Ranto Dior – Aceh Tengara tampaknya merupakan
stasi yang paling cepat terbuka kepada Injil dan missi Katolik sebab setengah
tahun setelah pembaptisan yang pertama, P. Elpidius juga telah mengadakan pembaptisan
yang kedua di tempat yang sama, yakni pada tanggal 02 April 1939. Selain stasi
Ranto Dior, Lau Bekung dan Lau Balang, setahun kemudian di daerah Aceh Tenggara
dia juga mendirikan stasi dan mengadakan pembaptisan di Panosan, 08 Oktober
1939, di Lau Ponggas, 05 Agustus 1940, di Kuta Tengah 06 Agustus 1940 dan di
Balbal Patarun, 07 Agustus 1940.
Masih dalam masa awal penjajakan missi di wilayah Paroki
Saribudolok, bersama Pastor Nepomucenus Hamers, OFM Cap; mereka betul menjadi
duet misionaris yang handal, bukan hanya di daerah Simalungun akan tetapi
sampai ke Tanah Karo dan Aceh Tenggara. Pastor Hamers sendiri telah mengadakan
pembaptisan pertama di Saribudolok pada tanggal 12 Maret 1939. Mereka yang
dibaptis pada waktu itu adalah Cornelius Damanik dan Laurentius Sipayung. Namun
ingatan dan cerita tentang Pastor Hamers pelan-pelan redup di ranah Simalungun
karena pada akhir tahun 1939 ia lebih memusatkan perhatian di Sidikalang dan
tinggal menetap di sana. P. Elpidius pun tinggal “sendirian”.
Walau sendiri, namun naluri misi
Elpidius tetap menggelora. Dia segera mengatasi kesendirian itu dengan mendidik
dan merekrut tenaga awam (Katekis) pribumi untuk mendukung karya misinya. Di
Lau Bekung dia telah menemukan seseorang yang dapat diandalkan sebagai partner
(Katekis) untuk mendukung karya missinya, yakni Bapak Petrus Datubara, ayah
dari Uskup Emeritus Keuskupan Agung Medan, Pius Datubara.
Petrus Datubara pun bukan sekedar Katekis jago
kampung, melainkan Katekis kawakan yang dapat diandalkan di kampung dan daerah
lain. Oleh kepiawaiannya dalam mewartakan Injil dan iman kekatolikan dan terutama
cerahnya prospek misi di daerah Simalungun, Elpidius pun merekrut Petrus
Datubara ke daerah Simalungun. Tanpa mengabaikan “ketekis-katekis lain”, Petrus
Datubara menjadi Katekis andalan pada masa itu.
Maka bersama dengan Petrus Datubara, dengan teratur
Elpidius mengunjungi stasi-stasi dan
orang Katolik pun terus bertambah. Melihat perkembangan itu maka dipikirkan
untuk membuka pusat pelayanan di daerah Saribudolok. Saribudolok sengaja
dipilih karena desa itu merupakan pusat
perdagangan dan letaknya sentral antara
Pematangsiantar dan Aceh Tenggara; kebetulan juga di Saribudolok sudah ada
stasi kecil. Stasi inilah yang menjadi pusat kegiatan gerejani bagi Elpidius pada awalnya.
Waktu itu di Saribudolok ada sebuah rumah besar yang mau dijual, milik
seorang “Bunggali”; Pastor Elpidius berkeinginan membelinya. Namun Raja
Silimakuta (daerah Saribudolok) juga mempunyai keinginan yang sama, namun dia hanya
menyanggupi seharga 500 gulden; “si
Bunggali” tidak mau. Akhirnya P. Elpidius membeli rumah itu seharga 2000
gulden. Mendengar bahwa rumah “si Bunggali” itu telah dijual kepada misi
Katolik, Raja Silimakuta pun menjadi sangat marah. Dia mencoba agar penjualan rumah itu dibatalkan, tetapi dia
tidak berhasil. Akhirnya dia mengadakan perlawanan kepada Misi Katolik. Dia memanggil setiap
orang yang menjadi Katolik dan mempengaruhi mereka agar tidak lagi menjadi Katolik.
Berbeda dengan Raja Silimakuta, Raja Purba justru
sangat simpatik terhadap misi Katolik dan menerimanya dengan tangan yang sangat
terbuka. Bahkan setiap tahun, sekitar
Tahun Baru, Pastor Elpidius rutin mengunjungi beliau di Pematang Purba.
Karena hubungan dengan Raja Silimakuta belum harmonis,
dan ia masih tetap menghalangi misi Katolik dipicu oleh persoalan rumah “si
Bunggali itu, akhirnya Pastor Elpidius menjual rumah itu dan memindahkan pusat
pelayanannya ke Purba Hinalang (± 4 km dari Saribudolok) di mana sudah ada stasi
dengan jumlah umat ± 50 kk. Di situ ia juga membangun sekolah (vervolgschool) dengan asrama. Dari Purba Hinalang, selain
mengunjungi daerah-daerah di mana sudah ada missi Katolik Elpidius juga terus
bergerak mengunjungi daerah-daerah yang sudah terbuka untuk misi, seperti Tanah
Karo dan Aceh Tenggara lainnya.
c) DARI SARIBUDOLOK KE TANAH
KARO
Di Tanah Karo ia mengunjungi dan mendirikan stasi di
beberapa daerah seperti Berastagi, Suka Julu, Berastepu dan Kabanjahe. Di
Berastagi, ia telah mengadakan pembaptisan pertama pada tanggal 28 Agustus
1940, yakni Petrus Saragih; di Suka Julu, tanggal 29 Desember 1940, yakni
Julianus Nungsang Tarigan. Kira-kira setahun kemudian dia pun telah memasuki
dan mengadakan pembaptisan di Berastepu, tepatnya pada tanggal 28 Nopember 1941.
Orang yang pertama sekali dibaptis di sana adalah Esteria br. Meliala. Dan pada
tanggal 20 Januari 1943, di Kabanjahe, yakni Ndela br. Sembiring.
d) MASA PENDUDUKAN JEPANG
Penjajahan Jepang (1942 – 1945) membuat
para misionaris, termasuk Elpidius, terkendala beberapa tahun dalam pewartaan
Injil. Pada tahun 1942, saat beliau sedang di Haranggaol, di kejauhan terdengar
tembak – menembak gencar antara tentara Jepang dengan Belanda. Keinginan untuk
mengetahui situasi mengundang pastor Elpidius mengajak seorang guru dari Harang
Gaol berangkat ke Tiga Runggu untuk melihat keadaan. Sepeda motor sengaja di
tinggalkan di Harang Gaol untuk menghindari penyitaan. Dengan mengenakan jubah,
mereka pergi; baru sedikit melewati Simpang Harang Gaol ke arah Tiga Runggu, mereka
berpapasan dengan tiga truk dan satu mobil, penuh tentera Jepang. Hati was –
was menunggu reaksi tentara Jepang, tetapi perasaan menjadi lega ketika
komandan tentara Jepang ternyata memberi salam kepada pastor itu. “Saya makin
berani, dan mengajak pak guru meneruskan perjalanan” katanya. Tetapi di Simpang
Gaja Pokki, sang guru tidak tahan lagi (mungkin juga takut) dan Pastor
Duijnhoven melanjutkan perjalanan sendirian, berjalan kaki.
Menjelang kampung Purba, satu konvoi lagi
lewat. Kontan tentara Jepang dari satu truk mengangkat senjata siap menembak.
“Saya angkat tangan tinggi – tinggi supaya jangan ditembak. Ternyata mereka
menurunkan kembali senjatanya” cerita beliau mengenang saat – saat genting itu
Tetapi sebentar kemudian, satu truk lewat
lagi. Truk ini berhenti, dan tentara Jepang menggeledah tas dan pakaian pastor Elpidius.
Semua diserakkan di jalan, termasuk minyak suci, alat – alat misa dan sedikit
uang. “Satu – satunya yang tidak ikut tumpah ialah hosti, karena saya taruh di sini”
katanya seraya menunjuk lipatan jubah di dadanya. Toh pastor lalu disuruh naik
truk dan diangkut ke Kabanjahe.
Di Titi Lau Dah, menjelang kota Kabanjahe,
truk – truk harus antri karena titi rusak. Mungkin dikhawatirkan P. Elpidius
akan melarikan diri sementara tentara Jepang makan, maka dia diikat ke sebuah
tiang kawat dan menjadi tontonan orang – orang yang lewat. Pada tiang ikatan
dia tetap berdoa mohon perlindungan dari Tuhan.
Beberapa lama kemudian komandan di
Kabanjahe yang rupanya sudah mendengar laporan adanya seorang pastor yang
ditangkap, menyuruh supaya pastor dibawa ke markas Jepang di Kabanjahe. Sambil
berdoa dia menghadapi komandan tentara Jepang. Usai menghadap, ternyata pastor
Elpidius diijinkan pulang.
Dengan beberapa orang Katolik dari Saribudolok
yang dijumpainya di Kabanjahe, Elpidius kembali ke Saribudolok; jalan kaki
lewat ladang dan bukit untuk menghindari kesulitan dengan tentara Jepang.
Mereka sempat bermalam di Suka Julu kala itu.
Nasib P. Duijnhoven sedikit lebih baik dari pastor –
pastor lain di Pematangsiantar. Waktu itu semua pastor di Pematangsiantar sudah
dikenakan tahanan rumah, sedang P. Duijnhoven masih bebas di Saribudolok
melaksanakan tugas seperti biasa. Beberapa kali ia pergi naik bus mengunjungi
para pastor yang sedang tahanan rumah di
Pematangsiantar. Ketiga kalinya ia ke Siantar, para pastor dan suster
misionaris bukan lagi dalam tahanan rumah, tetapi semua sudah dipenjarakan. Ia
pun kembali ke Saribudolok. Beberapa hari kemudian, dia pun mendapat surat
perintah untuk menyerahkan diri kepada Jepang di Pematangsiantar. Maka bersama
Pastor Djikstra dari Jalan Sibolga ia pergi ke penjara untuk ditahan. Dari
penjara ini, sebagai tahanan, mereka sempat beberapa waktu bekerja meratakan
lapangan terbang di Tiga Bolon. Penahanan berlangsung sampai sekitar 3 tahun. Semasa
tahanan para pastor pun sempat juga dipindah ke Jalan Binjai dan terakhir di
Labuhan Batu.
Pada tahun 1945 Jepang dikalahkan Sekutu. Tentera
sekutu memerintahkan Jepang membawa semua pastor dan suster ke Medan. Saat itu
Indonesia sudah Memproklamirkan kemerdekaannya.
Di Medan para misionaris tinggal di komplek Hayam
Wuruk. Namun pelayanan pastoral ke daerah dianggap belum aman sehingga mereka tetap
tinggal di sana sampai tahun 1947.
Tahun 1947 Pastor Duijnhoven ditugaskan Uskup ke
Pamatangsiantar. Di sana ia menjumpai seorang pastor dari Jawa di pastoran,
sedangkan rumah suster sudah di huni oleh 8 keluarga pegawai pemerintah
Indonesia. Pastor dari Jawa tersebut rupanya menganggap perlu berhati – hati
sekali untuk menjaga hubungan dengan setiap orang Belanda, termasuk sesama
pastor. Maka ia menyarankan Pastor Duijnhoven tinggal di Hotel Siantar. Jadilah
demikian untuk beberapa minggu. Sesudah itu P. Duijnhoven berinisiatif meminta
satu tempat di rumah suster yang dihuni para pegawai. “Entah karena takutnya,
mereka semua pergi, termasuk pastor orang Jawa itu. Saya lalu tinggal
sendirian. Saya pindah ke pastoran, dan mulai lagi mengurusi stasi – stasi”
katanya.
e) P. ELPIDIUS PINDAH KE
KABANJAHE
Pada tahun 1948-1949 P. Duijnhoven ditugaskan Uskup
membawa Kabar Gembira ke daerah Karo bersama dengan P. Maximus Brans, OFM Cap.
Di Kabanjahe saat itu sudah ada gereja Katolik, yang didirikan oleh tentara
Belanda yang Katolik.
Ketika penyerahan kedaulatan Republik Indonesia tahun
1949 dan semua tentara Belanda pulang ke negerinya, P. Duijnhoven ikut dengan
rombongan tentara, cuti ke negeri Belanda. “Ini cuti saya yang pertama kali,
sesudah 15 tahun! Sampai – sampai saudara saya yang dulu saya tinggalkan masih
gadis dan waktu saya pulang mereka sudah berumah tangga, tidak saya kenali
lagi” kata Elpidius. Selama Elpidius cuti, sambil membantu ke daerah Tanah Karo,
Penggembalaan di daerah Saribudolok diteruskan oleh P. Lukas Renders, OFM Cap
(Maret 1949 – Oktober 1949).
f) KEMBALI KE SARIBUDOLOK
Sekembali dari cuti kira – kira pertengahan 1950, P. Elpidius
kembali ke Indonesia dan bertugas lagi di Saribudolok. Ia mulai lagi babak baru
dalam pewartaan Injil. Karena sudah ada tenaga misionaris di Tanah Karo (P.
Maximus Brans, OFM Cap.) ia lebih memfokuskan pewartaannya di daerah
Saribudolok hingga ke arah Pematangsiantar. Dalam babak baru missinya ia lanjutkan
berkunjung dari kampung ke kampung, mewartakan Injil dan mendirikan stasi serta
membaptis orang menjadi Katolik.
Melihat prospek misi yang semakin terbuka dan cerah di
daerah Simalungun dan sekitarnya, pada tahun 1951, ia memohonkan katekis kepada
Bapak Uskup, waktu itu Mgr. Ferrerius van Den Hurk sebagai uskup Medan.
Sedemikian urgen permohonan itu, hingga Mgr. van Den Hurk mencopot “katekis tentara”
dari Medan dan mengutusnya ke Saribudolok untuk membantu P. Elpidius di tahun
yang sama pula. Dialah Bapak Bonaventura Yaep Lin Hin atau yang lebih dikenal
dengan Bapak Bonaventura Purba. Bersama Bapak Bonaventura Purba, P. Elpidius mengujungi
stasi-stasi, bermalam di kampung-kampung, berkatekese, mendirikan stasi dan
membaptis orang-orang menjadi Katolik.
Kehadiran Bonaventura Purba, menjadi berkah istimewa
dalam perjalanan misi Katolik di Paroki Saribudolok; selain masih lajang, energik,
berdedikasi tinggi, piawai berkatekese, ia pun pintar bermasyarakat. Oleh karena
itulah, walau dengan penguasaan bahasa daerah yang terbatas, ia dapat diterima
dengan baik oleh umat dan masyarakat. Begitu cintanya umat dan masyarakat
kepadanya, ia pun dinobatkan menjadi marga Purba.
Tidak mau ditinggalkan dan kehilangan Bonventura Yaep
Lin Hin Purba, maka Oppung Dolog pun dengan berbagai upaya “mengikat”nya untuk
tetap tinggal di Paroki Saribudolok, ia membujuk rayunya untuk menikah dengan
“putri Stasi Purba Hinalang”. Harapan Oppung Dolog terkabulkan, pada tahun 15
Agustus 1957, dalam usia 41 tahun ia pun menikah dengan Sannaria br. Lingga, putri stasi Purba
Hinalang. Dengan demikian jadilah Bonaventura menjadi katekis abadi di paroki
Saribudolok. Sampai akhir hayatnya, tahun 1973, ia membaktikan dirinya untuk
pelayanan pastoral di Paroki Saribudolok. Bukan hanya waktu dan tenaga, lebih
dari tigaperempat jiwanya, dibaktikannya untuk pelayanan pastoral.
Dalam periode 1951 – 1973 bersama para misionaris hampir
50-an stasi mereka dirikan, antara lain: Huta Tinggir, Naga Panei, Tiga Raja,
Pancur Batu, Simantin III, Sait Buntu, Panombeian Panei, Simpang Raya, Sibuntuon, Parjalangan, Karessek, Sinaman,
Pandodingan, Bangun Purba, Bangun Pane, Baluhang, Purba Dolok, Gambiri, Manik
Saribu, Pulian Baru, Dolog Huluan dan masih banyak stasi di sekitar Saribudolok
dan atau Lawe Desky (lihat lampiran, tahun berdirinya stasi-stasi). Sebagian
besar stasi yang mereka dirikan sudah direvitalisasi menjadi bagian dari Paroki
St. Yoseph – Jl. Bali, Pematangsiantar atau Paroki Lawe Desky.
Jadi boleh dikatakan bahwa pada periode awal, baik
Tanah Karo, Aceh Tenggara dan sebagian wilayah paroki St. Yosep – Jl. Bali,
adalah bagian dari Paroki Saribudolok.
Dengan perkembangan umat yang demikian pesat dan juga
luasnya daerah yang dilayani, P. Elpidius pun tidak sanggup lagi sendirian.
Selain dibantu oleh Katekis ia akhirnya dibantu oleh misionaris lain di
antaranya: P. Henricus Blaijs, OFM Cap (Nopember 1963 – April 1968) dan P.
Evaristus Albers, OFM Cap (Februari 1966 – Agustus 1974). Dengan didukung oleh
para Katekis jumlah umat pun bertumbuh begitu pesat. Katekis selalu bersedia
menemani mereka mengunjungi, mendampingi dan memimpin umat dengan katekese dan
ibadat.
Ketekis yang patut dikenang dan dihargai oleh paroki
ini antara lain: Kenan Mase Hutabarat, Petrus Datubara dan Bonaventura Yaep Lin
Hin Purba.
Perkembangan Paroki Saribudolok, bukan hanya dalam
jumlah umat semata, akan tetapi juga pertumbuhan dan pekembangan panggilan
menjadi rohaniwan/ wati. Panggilan rohaniwan-rohaniwati bertumbuh amat subur.
Tepatnya pada tanggal 01 Agustus 1950 sudah ada beberapa putri Paroki
Saribudolok yang menjadi suster, di antaranya: Sr. Bernadetta Saragih dari Stasi
Harang Gaol; Sr. Marietta Purba, Sr. Yosefine Batubara; keduanya berasal dari Stasi
Purbasaribu – dulu masih status sebagai Stasi Harang Gaol. Mereka bertiga masuk
suster dalam waktu yang bersamaan dalam Kongregasi Suster Santo Yosef (KSSY) – Medan. Mereka bertiga
inilah putri Paroki Saribudolok yang pertama sekali menjadi suster. Walau pada
awalnya tampak lambat akan tetapi tanda-tanda keterbukaan dan kesediaan untuk
menjadi imam sudah tampak di kalangan umat. Setidaknya pada tanggal 02 Agustus
1961 sudah ada putra paroki ini yang bercita-cita menjadi imam, yakni P. Thomas
Saragi, OFM Cap. Dialah imam pertama putra Paroki Saribudolok.
2.
Masa Transisi: Pastor non Pribumi – Pastor
Pribumi (tahun 1970 – 1985)
KADERISASI
Secara umum di wilayah Sumatera Utara
bukan hanya umat yang bertambah pesat; panggilan untuk calon-calon imam dan
biarawati pun juga bertumbuh dengan subur. Imam-imam pribumi mulai muncul. Maka
sejak bulan Juli 1970 paroki Saribudolok, tidak lagi hanya dilayani oleh
pastor-pastor dari Belanda tetapi juga pastor pribumi.
Pastor pribumi yang pertama sekali
melayani paroki Saribudolok adalah P. Fidelis Sihotang, OFM Cap (Juli 1970 –
Juni 1973), selanjutnya adalah P. Rafael Hutabarat, OFM Cap (Juli 1973 –
Desember 1973) P. Venansius Sinaga, OFM Cap (Juli 1974 – Desember 1975), P.
Yustinus Tinambunan, OFM Cap (Agustus 1974 – April 1980), P. Kosmas Tumanggor,
OFM Cap (Juli 1976 – Juni 1978), P. Marianus Simanullang, OFM Cap (Juni 1978 –
Agustus 1983 dan Agustus 1985 – Juni 1988), P. Antonius Siregar, OFM Cap (April
1980 – Agustus 1985) dan P. Raymond Simanjorang, OFM Cap (Agustus 1983 –
Desember 1991). Secara bergantian bersama para misionaris pastor pribumi turut
berkarya menggembalakan umat dan mengembangtumbuhkan paroki. Masa ini boleh
dikatakan sebagai masa transisi, peralihan dari pastor misionaris Kapusin
Belanda kepada pastor pribumi. Selain karena jumlah misionaris sudah terbatas
dan tua, hal ini juga merupakan bukti bahwa tanggungjawab kegembalaan akan
dilanjutkan oleh imam pribumi.
3.
Tahap Ketiga: Pastor Pribumi (tahun 1985 –
1991)
MURID MENJADI PEMIMPIN
Seiring dengan perjalanan waktu, misionaris dari
Belanda semakin berkurang; Pastor Elpidius pun sudah amat tua. Terpaksa oleh
tuntutan usia maka pada tahun 1983 ia diistirahatkan di Pematangsiantar. Dengan
demikian Paroki Saribudolok memasuki sejarah baru: “Pastor Pribumi”. Dengan
demikian tibalah saat paripurna pelayanan misionaris dan tibalah awal yang
baru: “Total Pastor Pribumi”. Gampang atau sulit, senang atau susah, oleh
karena tugas kegembalaan yang ditakdiskan kepadanya, tugas kegembalaan mesti diemban
oleh pastor Pribumi. Suka atau tidak suka umatpun mesti menerima Pastor Pribumi
sebagai pastornya. Syukur kepada Tuhan, bahwa iman yang tumbuh dalam diri umat
bukanlah iman akan misionaris melainkan iman akan Tuhan Yesus Kristus yang diwartakan
oleh setiap imamNya. Pastor pribumi pun diterima dengan sangat terbuka.
Pastor Pribumi yang pernah menjabat sebagai Pastor
Paroki di Paroki Saribudolok antara lain: Yustinus Tinambunan, OFM Cap, Marianus
Simanullang, OFM Cap, Raymond Simanjorang, OFM Cap, Harold Harianja, OFM Cap,
Donatus Marbun, OFM Cap, Thomas Sinabariba, OFM Cap, Theodorus Sitinjak, OFM
Cap, Samuel Aritonang, OFM Cap, Albertus Pandiangan, OFM Cap, Ambrosius
Nainggolan, OFM Cap, bahkan pada periode ini sebagai tanggungjawab umat
terhadap keberadaan imam, cukup banyak umat yang menyekolahkan anaknya ke
Seminari untuk menjadi imam.
Hingga tahun 2010, anak Paroki Saribudolok telah 22
orang ditahbiskan menjadi Imam, 2 orang Diakon, 4 orang Bruder yang berkaul
kekal, 16 orang frater 128 Suster yang tersebar di berbagai Kongregasi/
Tarekat. Dan masih banyak lagi calon-calon Imam atau suster yang masih belajar
di Seminari Menengah dan Seminari Tinggi. Oleh karena banyaknya calon Imam atau
Suster dari Paroki Saribudolok, paroki ini dikenal dengan julukan “masuk 1 bus
keluar 3 bus”. Maksudnya bahwa umat Paroki Saribudolok sangat antusias
menyekolahkan anaknya menjadi pastor atau suster, akan tetapi masih jauh lebih
banyak yang keluar. Ibarat ungkapan Injil, “banyak yang terpanggil sedikit yang
terpilih”. Umat paroki ini sungguh bangga bila anaknya menjadi Pastor, Bruder
atau Suster.
4.
Tahap Keempat: Dewan Pastoral Paroki (tahun
1991 – sekarang)
PEMBERDAYAAN
AWAM
Sesudah ± 56 tahun menggereja, Pastor Elpidius telah
“tiada” dan kepemimpinan paroki telah diemban oleh pastor pribumi; Paroki
Saribudolok telah dianggap dewasa. Sebagai pengikut Kristus, Gereja sungguh
sadar bahwa Tuhan tidak hadir secara fisik dan menuntun umat dengan perintah
nyata sebagaimana lazimnya seorang guru; namun sungguh percaya akan kehadiran
Kristus secara batiniah dan pendampingan Roh Kudus. Karena itu dirasakan perlu
ada di antara umat yang merefleksi dan menerjemahkan atau membuat
keputusan bagaimana umat paroki ini akan
mengikuti Tuhan. Maka kepada beberapa awam yang dipandang berbakat dan
terpanggil, DPP disahkan dan dikukuhkan dalam jabatan kepemimpinan kolegial;
dan beberapa karunia pelayanan pun dilembagakan untuk memelihara tata tertib
dan melestarikan kesinambungan. Awam pun sungguh diberdayakan.
Maka pada tahun 1990 dibentuklah Dewan Pastoral Paroki
(DPP): ada yang Harian, ada yang Inti dan ada yang Pleno yang mencakup semua
pemimpin teritorial dan kategorial. Salah satu tugasnya adalah menetapkan visi
dan misi paroki sebagai panduan, pedoman
arah dan tujuan kita meng-Gereja. Penggembalaan paroki bukan lagi hanya
ditanggungjawabi oleh para pastor melainkan juga bersama dengan awam yang
dianggap mampu dan berdedikasi.
Mereka yang pernah mengabdi dalam jajaran DPP harian antara
lain:
Ø Periode tahun 1991 – 1993: Jan Naman Sipayung, Gugu Dominikus Sipayung,
Agustinus Purba, Fransiskus Hotman Sipayung, dan Kondan Sipayung.
Ø Periode tahun 1994 – 1996: Jan Naman Sipayung, Gugu Dominikus Sipayung,
Fransiskus Hotman Sipayung, Albert Sinaga, Melanthon Fransiskus Lingga, Karianna
Br. Saragih.
Ø Periode tahun 1997 – 1999: Jahotni Philippus Manihuruk, Gugu
Dominikus Sipayung, Jhon Lesman Girsang, Fransiskus Hotman Sipayung, Abert Sinaga,
Mangasi Manik, Karianna br. Saragih, Petronella br. Purba, Kasim Peranginangin,
Budimanson Sinaga, Jonni Rosevelt Manalu dan Paulus Saragih.
Ø Periode tahun 2000 – 2002: Mangasi Manik, Fransiskus Xaverius Purba,
Alexander Haloho, Albert Sinaga, Fransiskus Hotman Sipayung, Karianna Br.
Saragih, Petronella br. Purba, Alexius Ginting, Sr. Yuliana Ginting.
Ø Periode tahun 2003 – 2005: Alexander Haloho, Fransiskus Xaverius Purba,
Abert Sinaga, Johotni Philippus Manihuruk, Mangasi Manik, Fransiskus Hotman Sipayung,
Karianna Br. Saragih, Petronella br. Purba, Sr. Vinsensia Tarigan, Tombang A. Simbolon,
Radisman Sinaga, Arisan Sinurat.
Ø Periode tahun 2006 – 2008: Albert Sinaga, Fransiskus Xaverius Purba,
Petrus T. Rumahorbo, Sr. Vinsensia Tarigan, Ratna Veronica br. Sinaga, Lincon
Sinaga, Tombang A. Simbolon, Sarwedin Girsang, Radisman Sinaga, Kasim Peranginangin,
Rohben Saragih.
Ø Periode tahun 2009 – 2011: Jahotni Philippus Manihuruk, K.
Peranginangin, PT. Rumahorbo, Fendy Raya Girsang, Risma Florida Purba, Sr.
Vinsensia Tarigan, Monang Siallagan, Rajin Simarmata, Astra Peranginangin,
Kamse Damanik, Misran Girsang, Jansinus Sinurat, Sarwedin Girsang, Makdin
Saragih.
Pemberdayaan awam tidak muncul
begitu saja; sebelum periode ini pun sudah ada pengkaderan Tenaga Pastoral Awam
(TPA). Mereka betul dipersiapkan baik dengan kursus formal maupun pengkaderan
non formal. Umat paroki ini, yang sempat mengikuti pembinaan TPA yang
diselenggarakan oleh Keuksupan Agung Medan dan ikut terjun mengadakan pembinaan
ke stasi-stasi: Jahotni Philippus Manihuruk (Tiga Raja), Lasmen Ginting (Saran
Padang), Saudin Purba (Sirpang Sigodang) Jabali Viktorianus Simanjorang
(Kodon-Kodon), Mintas Simanjorang (Paropo)
KARYA PASTORAL KATEGORIAL
PAROKI SARIBUDOLOK
Selain
bidang pewartaan iman, pelayanan Sakramen/ Sakramentalia paroki Saribudolok pun
telah lama bergerak dalam pastoral kategorial: pendidikan, asrama dan
kesehatan. Karya pendidikan antara lain: Taman Kanak-kanak (TK) Harapan –
Saribudolok, yang dikelola oleh suster SFD. Sedangkan SD Don Bosco –
Saribudolok, SMP St. Agustinus – Haranggaol, SMP Bunda Mulia – Saribudolok dan
SMA Duijnhoven – Saribudolok dikelola oleh Yayasan St. Yosef – Medan. Karya
Kesehatan, yakni Poliklinik St. Fransiskus, dikelolah oleh para suster SFD.
Lewat
karya pendidikan tak terhitung lagi banyaknya orang yang telah beroleh
pendidikan dan hidup yang lebih manusiawi; bukan hanya yang beragama Katolik
melainkan juga masyarakat sekitar pada umumnya.
1. Karya
Pendidikan
A.
Taman Kanak-kanak (TK) Harapan –
Saribudolok
TK Harapan – Saribudolok lahir dari
permintaan masyarakat dan anjuran pemerintah bahwasanya sebelum masuk sekolah
(SD) anak-anak sebaiknya sudah mendapatkan pendidikan. Menanggapi kebutuhan
masyarakat dan anjuran pemerintah, maka pada tanggal 06 September 1976, di
Saribudolok dibuka Taman Kanak-kanak yang diberi nama Harapan. Pada awalnya
selain sebagai tempat belajar anak, TK ini juga sekaligus merupakan penitipan
bayi. Akan tetapi sesudah izin opresional resmi keluar dari pemerintah, yakni
pada tanggal 28 Februari 1989, penitipan bayi ditutup dan hanya menerima anak
yang hendak sekolah. Ruangan penitipan bayi pun dialihkan menjadi ruang belajar
TK.
TK Harapan – Saribudolok dikelola oleh
para suster SFD di bawah naungan Yayasan Setia Medan. Kepala sekolah pertama di
TK ini adalah Sr. Constantia Evaria Purba, SFD, Sr. Ricarda Bangun, SFD
(1995-1998), Sr. Maria Flavia Simbolon,
SFD (1998-2001), Sr. Klemensia Simbolon, SFD (2001-2002), Sr. Skolastika
Simbolon, SFD (2002-2005), Sr. Caroline Tarigan, SFD (2005-2009), Sr. Maria
Lydianes Sembiring, SFD (2009-sekarang).
Sejak tahun 2000-2010 TK ini telah mendidik
1.017 orang anak, dan siswa tahun terakhir berjumlah 120 orang.
B.
Taman Kanak-kanak (TK) St. Fransiskus
Assisi – Harang Gaol
TK St. Fransiskus Assisi – Harang Gaol,
berdiri pada tahun 1988. Sama halnya dengan TK – Harapan - Saribudolok, TK St.
Fransiskus Assisi Haranggaol pun lahir dari permintaan masyarakat. Menanggapi
kebutuhan masyarakat, maka pada tahun 1988 TK St. Fransiskus mulai beroperasi.
Namun izin dari Dinas Pendidikan baru keluar pada tanggal 31 Desember 2003. . Dua
tahun pertama TK ini memakai gedung darurat milik KAM, persis di pinggir Danau
Toba. Kemudian pada tahun 1991, sesudah suster membeli rumah di samping
susteran, TK ini pun pindah ke rumah itu. Selama 19 tahun TK ini tetap memakai
gedung darurat tersebut. Barulah sesudah tahun 2010 rumah itu di renovasi dan
lebih memadai untuk tempat belajar TK.
Sejak berdirinya TK ini telah mendidik
anak usia dini sebanyak 667 orang. Jumlah siswa tahun 2010/2011 sebanyak 64
orang.
C.
Sekolah Dasar (SD) Don Bosco – Saribudolok
SD Don Bosco – Saribudolok
didirikan pada tahun 1967 oleh Pastor Elpidius van Duijnhoven bersama Suster
dan beberapa tokoh umat. Gedungnya darurat: lantai papan, tiang panggung dan
dibangun dengan memakai papan bekas Asrama Putri. Pendirian ini lahir dari
suatu keyakinan dan kebutuhan akan pentingnya pengetahuan dan pendidikan bagi
masyarakat. Mula-mula hanya diperuntukkan untuk pemberantasan buta huruf, belum
sekolah formal. Mereka belajar hanya pada hari Minggu. Namun demikian jumlah
murid cukup menggembirakan, 70 orang. Karena ruangan tidak sanggup menampung
ke-70 anak, mereka dibagi dua kelompok, A dan B. Secara bergantian mereka
mempergunakan ruangan yang kecil dan serba darurat itu; kelompk A pagi hari dan
kelompok B siang hari. Demikian seterusnya secara bergantian.
Melihat antusiasme
masyarakat menyekolahkan anaknya, untuk dapat menampung siswa yang lebih
banyak, tidak lama kemudian yakni pada tanggal 1 Juli 1968 dibangunlah gedung
semi permanen. Serentak dengan itu sekolah ini pun berkembang menjadi sekolah.
D.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) St.
Agustinus – Haranggaol
SMP St. Agustinus –
Haranggaol tidak jelas tahun berapa berdiri dan siapa pendirinya, tak
seorangpun yang mengingatnya. Akan tetapi menurut catatan yang ada di dinding
lemari gereja, berdiri pada tahun 1933, pada hal pada tahun itu belum ada
misionaris yang datang ke Haranggaol.
Sekolah ini dibangun demi
kebutuhan masyarakat dan tanahnya dihibahkan oleh Raja Purba. Pada awalnya
gedung sekolah ini berfungsi ganda: sebagai tempat Sekolah Rakyat (SR – setingkat
SD) dan sekaligus sebagai tempat ibadah (gereja). Dana pembangunan ini semuanya
diusahakan oleh pastor misionaris Belanda.
Pada tahun 1954
pemerintah membangun Sekolah Rakyat (SR) di Haranggaol, akibatnya SR St.
Agustinus ditutup. Akan tetapi tidak lama kemudian yakni pada tanggal 01
Agustus 1954 SR St. Agustinus beralih menjadi Sekolah Guru Bawah (SGB) dengan
kepala sekolah Bapak Robertus Saragih.
Untuk menampung anak-anak
dari kampung yang jauh juga dibangun Asrama dan rumah guru, sehingga muridnya bukan
hanya anak-anak Haranggaol saja, melainkan juga dari berbagai tempat. Bahkan
waktu itu muridnya justru lebih banyak datang dari Simpang Haranggaol. Pada
waktu itu inilah satu-satunya SGB yang ada di Simalungun Atas.
SGB hanya bertahan 3
tahun. Pada tahun 1957 beralih status menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Waktu
itu uang sekolah masih dibayar dengan beras ditambah uang.
E.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bunda
Mulia - Saribudolok
Cikal bakal SMP Bunda
Mulia – Saribudolok adalah sekolah keterampilan khusus perempuan (SKKP). Nama
asalnya adalah SKKP Bunda Mulia, karena hanya diperuntukkan bagi kaum
perempuan, berdiri pada tanggal 01 Agustus 1958 dalam asuhan Yayasan Setia
Medan. Pada awalnya peminat cukup banyak dan sempat sampai 3 lokal, semua murid
hanya perempuan.
Akan tetapi sejak tahun
1975 peminat SKKP menurun drastis dan kurang diminati masyarakat, justru
masyarakat mengusulkan agar didirikan SMP saja. Sehingga pada tahun 1976 SKKP
tidak lagi menerima siswa baru, sekolah hanya tinggal berjuang untuk menamatkan
siswa yang sudah kelas II dan III, seluruhnya ditamatkan pada tahun 1978.
Sambil menamatkan siswa
yang masih “sisa”, sekolah ini sudah menerima murid baru untuk kelas I sejumlah
56 orang akan tetapi dengan status sebagai SMP. Guru-guru SKKP pun beralih
menjadi guru SMP Bunda Mulia. Tahun kedua penerimaan murid SMP, jumlah murid
baru melonjak hingga 116 orang. Dan pada tahun 1978, sekolah ini hanya menerima
siswa sebanyak 120 orang karena keterbatasan ruangan kelas. Murid tamatan pertama
SMP ini (1978/1979), untuk ujian nasional masih menumpang di SMP Negeri 1
Saribudolok.
Demikianlah sekolah ini
terus meningkat hingga saat ini berjumlah 15 lokal dengan jumlah rata-rata/
lokal 46 orang.
F.
SMA Cinta Rakyat Duijnhoven – Saribudolok
SMA Cinta Rakyat Duijnhoven berdiri
tahun 1986, diprakarsai oleh Pastor Raymond Simanjorang, OFM Cap bersama dengan Dewan Pastoral Paroki
Saribudolok.
Latarbelakangnya adalah bahwa pada
tahun 1983, Saribudolok dipercayakan sebagai tuan rumah pentahbisan P.
Aneselmus Haloho, OFM Cap menjadi imam dan sekaligus pesta emas imamat Pastor Elpidius. Dalam rangka pesta ini mucul
ide, “apa kiranya yang cocok ‘dihadiahkan’ kepada pastor Elpidius, sebagai
kenangan atas pengabdiannya selama di paroki ini?” Dalam diskusi dan
pembahasan, panitia memutuskan untuk membangun monumen/ patung Oppung Dolog di
depan gereja Stasi Saribudolok. Ide itu disampaikan kepada putra-putri
Saribudolok yang ada di perantauan. Mereka mendukung dan menyambut ide itu
dengan senang hati. Akan tetapi setelah ide itu disampaikan kepada Oppung
Dolog, ternyata dia keberatan. Dia katakan, saya tidak mau tugu yang mati, saya
jauh lebih bahagia jika anak-anak paroki ini bisa bersekolah. Dengan ungkapan
itu muncullah ide untuk mendirikan sekolah sebagai “kado manis dan tugu hidup”
yang dibaktikan kepada Tuhan atas pengabdian dan karya Elpidius van Duijnhoven
selama di Paroki Saribudolok. Akhirnya panitia menyepakati pendirikan SMA yang
akan diberi nama SMA Van Duijnhoven. Untuk itu segala sesuatunya mulai
diersiapkan. P. Marianus Simanullang memebeli tanah ± 3 ha di Jalan Kabanjahe
untuk lokasi sekolah.
Panitia pembangunan pun dibentuk dan
pembangunan dimulai. Namun menunggu pembangunan selesai, SMA Duijnhoven untuk
sementara berada di Jl. Mesjid – Saribudolok (1986), satu tahun kemudian
(1987), sesudah gedung selesai dibangun dan diberkati oleh Mgr. Pius Datubara,
sekolah pindah ke Jl. Kabanjahe. Sekolah
ini secara resmi diberi nama SMA Swasta Cinta Rakyat Duijnhoven – Saribudolok.
Akan tetapi yang akrab di kalangan masyarakat adalah SMA Duijnhoven saja.
Selain sumbangan daripada donator,
gedung sekolah ini dibangun dengan partisipasi umat separoki Saribudolok dengan
jumlah Rp 200.000/ kk.
2. Karya
Kesehatan
A. Poliklinik
St. Fransiskus Asisi Saribudolok
Poliklinak
St. Fransiskus Assisi – Saribudolok berawal dari penyemangatan, gagasan dan
anjuran seorang dokter asal Jerman yang bertugas di Rumah Sakit (RS) Bethesda –
Saribudolok, sekitar tahun 1967. Ia sering datang berkunjung di susteran dan
mengusulkan supaya dibuka Balai Pengobatan (BP) Katolik. Alasannya, karena pada
waktu itu hanya ada satu BP di Saribudolok yakni BP Sekata, padahal pelayanan
kesehatan masyarakat masih sangat dibutuhkan.
Waktu
itu suster yang berkarya di Saribudolok: Sr Lusia, SFD; Sr. Hyasinta, SFD; dan
Sr. Constansia, SFD (alm). Untuk memulainya, Sr. Josephine, SFD; seorang suster
misionaris asal Belanda yang waktu itu bertugas di Pati diundang ke Saribudolok.
Sarana dan prasarana sudah mulai dilengkapi. Namun situasi berkata lain, sewaktu
Sr. Josephine pergi ke Medan naik mobil landrover, bersama rombongan, mereka jatuh
di Sembahe; Sr. Josephine mengalami geger otak dan dia terpaksa pulang ke
Belanda. BP yang sudah dipersiapkan pun terpaksa harus ditunda.
Pada
tahun 1985, saat Kapitel Umum SFD di Negeri Belanda, timbul kembali pemikiran
untuk menuntaskan pendirian BP yang sudah direncanakan 18 tahun sebelumnya.
Namun tenaga kesehatan yang dibutuhkan belum memadai. Oleh karena itu, dengan
pertimbangan tenaga yang masih sangat terbatas, Dewan Regio SFD – Indonesia
mengusulkan kepada Pimpinan Umum SFD di Dongen agar Sr. Bernadetta membuka
pelayanan kesehatan sekali seminggu di Saribudolok; setiap hari Rabu saja.
Akhirnya,
pada tahun 1987, poliklinik St. Fransiskus Assisi – Saribudolok resmi dibuka
meskipun belum ada izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun. Sr
Bernadetta telah memulai pelayanan kesehatan setiap hari Rabu, mula-mula
bertempat di Kantor Yayasan yang dikelola SFD dekat susteran Alverna –
Saribudolok. Dengan setia dan ramah Sr. Bernadetta melayani pasien di tempat
yang amat sederhana itu ± 2 tahun.
Pada
tahun 1989, muncul perkembangan baru dengan tersedianya tenaga suster yang
dikhususkan untuk pelayanan kesehatan yakni Sr. Venantia, SFD. Pelayanan
kesehatan bukan lagi hanya pada hari Rabu tetapi setiap hari.
Tahun
1993, pada saat Sr. Juliana bertugas di Saribudolok, izin Dinas Kesehatan pun
di urus ke Dinas Kesehatan Kabupaten
Simalungun. Izin resmi keluar pada tahun 1994.
Seiring
dengan perjalanan waktu fasilitas dan mutu pelayanan pun semakin ditingkatkan,
pasien semakin banyak yang berobat. Dirasakan pula bahwa fasilitas yang ada itu
tidak lagi memadai. Maka pada tahun 1997 dibangunlah Poliklinik yang baru
dengan fasilitas rawat inap. Gedung dipindahkan dari lokasi lama ke Jalan
Kabanjahe – Saribudolok. Pembangunan selesai pada tahun 1998 dan diberkati pada
tanggal 22 Februari 1998 oleh P. Emmanuel Sembiring, OFM Cap. Sejak saat itu
poliklinik telah menerima pasien rawat inap walaupun belum ada tenaga dokter
yang menetap. Tenaga dokter baru tersedia sejak tahun 2000. Dokter yang pernah
bertugas di poliklinik ini antara lain: dr. Elias Siahaan, dr. Kristinus
Rumahorbo, dr. Binsar Sagala dan dr. Henny br. Saragih.
Dalam
perjalanannya, pengelolaan poliklinik ini banyak mengalami suka dan duka.
Tetapi syukur kepada Tuhan bahwa hingga saat ini masih tetap dipercayai
masyarakat.
B. Balai
Pengobatan St. Fransiskus – Harang Gaol
Balai
Pengobatan (BP) St. Fransiskus Assisi – Haranggaol mulai beroperasi pada tahun
1988. Dirintis oleh Bernadeth, SFD dan dikelola oleh suster SFD.
Sejak
tahun 1988 – 1999 BP ini beroperasi di sebuah rumah kontrakan. Dan pada tahun
2000, barulah BP ini menggunakan gedung sendiri.
3. Karya
Pendampingan Asrama: Putra dan Putri
Pendampingan
Asrama sudah ada sejak tahun 1954 yakni untuk menampung siswa SKKP yang berasal
dari luar Saribudolok. Pada awalnya ditangani oleh para suster SFD, akan tetapi
pada tahun 1967 pengelolaanya diserahkan kepada paroki. Dengan penyerahan itu
aula paroki pun dialihfungsikan menjadi Asrama Putra/i. Aula disekat menjadi
dua bagian: satu bagian untuk Asrama Putra dan sebagian lagi untuk Asrama
Putri.
Walau
dengan fasilitas yang sangat sederhana, memasak sendiri dan cari kayu bakar
sendiri namun anak Asrama tetap berkembang dan bermutu. Disiplinpun terjamin.
Sehingga orang tua murid yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik
Saribudolok sangat berkeinginan supaya anaknya dapat masuk di Asrama. Maka
secara tidak langsung kehadiran Asrama ini sangat membawa dampak positip bagi
keberadaan sekolah Katolik di Saribudolok. Pada awalnya Asrama hanya menampung
siswa/i SMP, akan tetapi sejak tahun 1987, dengan berdirinya SMA Duijnhoven,
juga menerima anak SMA.
Seiring
dengan semakin bertambahnya anak sekolah yang ingin tinggal di Asrama dan
menuanya fasilitas bangunan yang ada, muncul pemikiran untuk pembangunan Asrama
Baru dengan pengelolaan yang baru dan lebih berkwalitas pula. Pastor Paroki
Saribudolok menawarkan pembangunan dan pengelolaan Asrama Putra kepada Odro
Kapusin – Propinsi Medan dan Asrama
Putri kepada Kongregasi SFD. Walau belum ada dana untuk pembangunannya, baik
Ordo Kapusin Propinsi – Medan maupun Korngregasi SFD tetap menyambut ide itu
dengan baik.
Akhirnya,
Ordo Kapusin Propinsi – Medan maupun Kongregasi SFD mencari solusi dengan
memproposalkan pembangunan itu kepada donatur di Belanda dan donatur pun
menyanggupinya. Pada tahun 1999 Asrama Putra dibangun terpisah dari Asrma
Putri, seberang-menyeberang, di Jalan Kabanjahe – Saribudolok, ± 600m dari
lokasi Asrama semula Pembangunan selesai dan diresmikan pada tanggal 17
Februari 2001. Asrama Putra diberi nama Asrama St. Fransiskus Assisi dengan pengelolanya
Ordo Kapusin Propinsi Medan dan Asrama Putri diberi nama Asrama St. Theresia
dengan pengelolanya suster Kongregasi SFD.
REFLEKSI: Harapan ke Depan
Seperti Oppung
Dolog, seorang hamba yang Menjadi Pemimpin yang Melayani dengan Baik
Sesudah ± 78 tahun menggereja, Paroki Saribudolok
telah dianggap dewasa. Sebagai paroki yang sudah dewasa, umat beriman mesti sadar
bahwa Tuhan tidak hadir secara fisik dan menuntun paroki ini dengan perintah
nyata sebagaimana lazimnya seorang guru, namun harus sungguh percaya akan
kehadiran Kristus secara batiniah dan pendampingan Roh Kudus. Karena itu di
antara umat beriman paroki ini dalam semua tingkat dan jabatan, mesti merefleksi
dan menerjemahkan atau membuat aksi
bagaimana umat paroki ini harus mengikuti Tuhan.
Dewan Pastoral Paroki (DPP) mesti mengambil inisiatif
memaksimalkan pelayanan dan memelihara tata tertib dan kesinambungan kepemimpinan
di semua tingkat dan jajaran. Perannya yang utama adalah menetapkan visi dan
misi paroki sebagai panduan, pedoman
arah dan tujuan meng-Gereja.
Bagaikan layaknya sebuah keluarga besar, paroki mesti dikekola
dengan baik. Sebagai Keluarga Besar, karena Kristus sebagai Kepala Keluarga tidak
hadir secara fisik, maka perlu ada yang mewakiliNya; yang berfungsi sebagai
Pengurus Rumah Tangga yang diberi kuasa dan wewenang untuk mengurus hal-hal
yang perlu dalam pelayanannya kepada umat. Dinamika kepemimpinan dan
kepengurusan Rumah Tangga inilah cerminan khas kepemimpinan kristiani, yaitu hamba yang menjadi pemimpin yang melayani.
Maka jajaran Pengurus di paroki, dalam semua tingkat
dan jajaran, mesti bercermin pada pesan Yesus dalam Injil Mat 23: 8 -12,
“tetapi kamu, janganlah disebut Rabi, karena hanya satu Rabimu dan kamu semua
adalah Saudara”. Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena
hanya ada satu Bapamu, yaitu Dia yang di Surga. Janganlah pula kamu disebut
pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di
antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, barang siapa meninggikan diri, ia
akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”
Sedang gambaran pengurus Rumah Tangga yang setia
disampaikan dalam perumpamaan Lukas 12. Injil ini menjelaskan tiga sifat
seorang pengurus Rumah Tangga, pertama: bertindak sebagai pelayan, bukannya
sebagai pemilik atau majikan; kedua: kekuatan atau keutamaan pokok seorang Pengurus
adalah perpaduan sifat bijaksana dan dipercaya, bisa diandalkan dan berpengalaman;
ketiga: Konteks kepemimpinannya adalah situasi ketidakhadiran majikan. Dia
mengambil keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan ketika majikan atau pemilik
rumah tidak berada di tempat. Dengan demikian wewenang seorang Pengurus Rumah
Tangga memang penuh, tetapi bersifat “pinjaman” sementara.
Perlu ada penyegaran kesadaran terus menerus bahwa
seorang Pengurus Rumah Tangga pada hakikatnya bukanlah seorang pemilik. Sebagai
umat Kristiani kita mesti sadar bahwa Gereja dan segala yang baik yang
dihasilkannya adalah milik Tuhan. Namun demikian tanggungjawab yang dewasa,
baik sebagai umat terutama sebagai pengurus mesti membuat kita untuk
memperhatikan dan terlibat penuh memelihara kebaikan dan kemajuan paroki. Kita
ada dalam dan bersama Gereja, namun sesunguhnya bukanlah kita pemiliknya
melainkan Tuhan sendiri. Kita ditantang untuk memelihara dan mengembankan tanpa
menguasai, menentukan tanpa memiliki.
Kita sungguh bangga dan beruntung pernah dikunjungi
oleh para misionaris. Kita mengenal Tuhan dan Injil lewat kehadiran mereka.
Namun serentak dengan itu, pembaktian diri mereka sekaligus mengjadi “hutang” kita.
Kita mesti bertanggungjawab untuk melestarikan pembaktian diri mereka. Jangan
pernah puas karena pernah mengenal misionaris dan menerima Kabar Gembira Tuhan
dari mereka, Pada gilirannya putra-putri paroki harus menjadi misionaris.
Jangan pernah merasa cukup karena telah banyak rohaniwan-rohaniwati putra-putri
paroki ini; sedaya mampu dan sebanyak mungkin kita harus kerahkan putra-putri
paroki ini menjadi misionaris. Secara badani, misionaris tidak mungkin
melahirkan misionaris; keluarga beriman , itulah yang dapat melahirkannya. Jadi
prinsip keluarga “dua atau tiga anak cukup” perlu kita kaji dan renungkan lebih
serius. Jika kita benar mencintai misionaris dan Gereja setiap keluarga harus
benar terbuka untuk melestarikan pembaktian diri para misionaris dengan
mengutus dan mendoakan anak-anak kita agar terpanggil menjadi imam dan
misionaris. Secara khusus dalam hal ini paroki Saribudolok tidak hanya
bertanggungjawab untuk dirinya melainkan juga untuk Gereja Semesta. Apa jadinya
Gereja Katolik kalau tidak ada lagi pastor atau suster? Jadi, tanggungjawab
besar ada di pundak kita bersama. Kematangan paroki menuntut pemurnian terus
menerus terhadap cinta kasih dan keterlibatan kita untuk kelestarian Gereja.
Akhirnya para pengurus Rumah Tangga yang dewasa dan
bertanggungjawab memperhatikan juga terselenggaranya pembinaan yang memelihara
pertumbuhan generasi muda untuk menjadi generasi penerus. Ia juga bertugas sebagai
penyembuh luka atas kekeliruan, kesalahan atau kekurangan yang pernah terjadi,
baik yang muncul dalam bentuk konflik maupun akibat kelalaian. Sehingga jika
Yesus datang dan meminta pertangungjawaban, para pengurus Rumah Tangga Paroki
kita, benar-benar tidak mengecewakan sang Guru, karena telah menjadi murid yang memimpin dengan baik.
Selamat beryubileum, selamat bermisi, selamat memimpin dan selamat melayani.
terimaksih sebesar-besarnya kepada Gregorius tan atas jasa baiknya membantu stasi Soping untuk mewujudkan pembangunan gereja di stasi ini. Semoga tuhan memberkati dan iman umat di stasi ini seamkin berkembang.
BalasHapusSuster Skolastika yang pernah mengajar saya di TK Harapan, ada dimana bertugas suster ?"
BalasHapus